Rabu, Maret 24, 2010

Aturan Pemakzulan di Indonesia Bertentangan Dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi:

(dikutip dari milis tetangga)

--- On Sat, 3/20/10, Chris Komari <futureindonesia@ yahoo.com> wrote:
Date: Saturday, March 20, 2010, 1:55 AM

Tulisan ini dibuat untuk meresponse tulisan saudara Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK DAN PENELITI THE INDONESIAN INSTITUTE:
<><><><><><> <><><><>< ><><><><> <><><><>< ><><><><> <><><><>< ><><>


Bila aturan pemakzulan seorang President, Wakil President atau pejabat negara lainya harus selalu dikaitkan dengan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) untuk membuktikan seorang pejabat bersalah atau tidak; baik atas kebijakan yang diambil atau public misconducts, hal ini membuat Mahkamah Konstitusi sebagai "Soft Dictator" dalam satu pemerintahan democracy.

Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Demokrasi itu sendiri di mana 3 lemabaga negara; Executive, Legislative dan Yudikative haruslah Co-Equal (sejajar), Separated (Terpisah), Independent (berdidi sendiri), Absolute (Mutlak), Dispersed (Tersebar) dan Decentralized (Terbagi-bagi) .

Dengan memberikan embel-embel atau tuntutan bahwasanya keputusan MK harus menjadi bagian dari Pemakzulan seorang President, Wakil President atau pejabat negra lainya membuat DPR dan MK unequal (tidak sejajar), bahkan dalam setting seperti ini membuat kekuasaan MK lebih tinggi dari kekuasaan DPR.

Padahal dalam pemerintahan Demokrasi, anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat dan para justices (hakim) di MK adalah di tunjuk dan di konfirmasi oleh DPR.

Apakah setelah mereka diangkat menjadi Justices atau Hakim di MK justru memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari DPR yang dipilih langsung oleh rakyat? That does not make sense, does it?

Apakah seorang pejabat negara yang ditunjuk (appointed) memiliki kekuasaan lebih tinggi dari mereka yang dipilih (elected) oleh rakyat? That really does not make sense and undemocratic.

Bagaimana seorang pejabat negara seperti justices (hakim di MK) yang diangkat (appointed) harus meiliki kekutan lebih tinggi dari yang mengangkat atau dipilih oleh rakyat (elected by the people). This is what so flaw dengan demokrasi dan article of impeachment di Indonesia yang perlu di tata dan diperbaiki.

Aturan pemakzulan yang harus dikaitkan oleh keputusan MK adalah melanggar prinsip-prinsip Demokracy itu sendiri, sebab DPR sebegai lembaga Legislative memiliki role yang unik, dimana DPR memiliki hak, tanggung jawab dan kewajiban untuk mengawasi jalan kerjanya orang-orang di Exesecutive yang disebut dengan "OVERSIGHT ROLE".

Hak, tugas, tanggung-jawab dan kewajiban DPR ini tidak boleh di kerdilkan (marginalized) , dikurangi (limited), dibatasi (ristricted) atau bahkan di batalkan (nullified) bukan hanya oleh seorang President, kepala Executive, tapi juga oleh MK (Judiciary).

Apakah dalam menjalankan tugas (OVERSIGHT ROLE) ini dan bila DPR menemukan bukti public misconduct seorang pejabat negara dan sebelum melakukan pemakzulan (impeachment Proceeding) harus mendapat izin dari MK atau MK harus membuktikan dulu keabsahan dari public misconduct tersebut? No, not really.

Karena public misconduct tidak bisa diukur dari kesalahan hukum (Criminal Law), tapi bisa diukur dari Constitutional Law,  dan Constitutional Law ini adalah hak DPR dan bukanya hak MK (Judiciary).

Pemakzulan President, Wakil President atau pejabat negara lain tidak hanya karena 3 hal seperti yang anda sebutkan:

1). Pertama, pengkhianatan terhadap negara (treason).
2). Kedua, korupsi atau penyuapan (bribery and high crimes)
3). Ketiga, pelanggaran- pelanggaran ringan tetapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela (misdemeanors) .

*Pelanggaran Misdemeanor adalah pelanggaran hukum lesser charges (lebih ringan), tapi masih dalam ranah hukum. 

Pemakzulan atau impeachment terhadap President atau pejabat negara lain tidak HANYA sebatas kesalahan hukum tapi juga "NON-CRIMINAL MISCONDUCTS" seperti (Violation of Constitution, Incompetency, Power Abuse, or Simply Wrong Doings/Public Misconducts) yang semuanya ini TIDAK HARUS dan tidak bisa dibuktikan secara HUKUM melalui MK atau Judicary.

Karena itulah dalam pemerintahan Democracy ada dua jalur impeachment:

1). Berdasarkan Criminal Law, yang harus diputuskan oleh MK (Judiciary) dan targetnya adalah indivual yang bisa masuk penjara.

2). Constitutional Law, yang ditetapkan dan diputuskan oleh DPR sendiri dan targetnya adalah jabatanaya atau "removal from office) secara paksa.

DPR cukup mengadakan hearing terbuka, memanggil saksi dan orang-orang yang terlibat untuk cari data dan fakta. Bila wrong doing itu terbukti, hal ini cukup bagi DPR untuk melanjutkan ke Pemakzulan (impeachment Proceeding) terhadap seorang President, wakil President dan pejabat negara lain.

Jadi aturan pemekzulan di Indonesia yang harus dikaitkan dengan keputusan MK bukan hanya salah, tidak masuk akal tapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan Demokrasi itu sendiri.

Karena pemakzulan terhadap President, Wakil President dan pejabat negara lainya bukan hanya terbatas atau dibatasi oleh KESALAHAN HUKUM tapi juga bisa disebabkan oleh Non-Criminal Misconducts.

Dasar pemikiran hukum yang tidak masuk akal dan tidak demokratis:

Kalau pemakzulan itu harus dikaitkan dengan keputusan MK, bagaimana dengan kasus-kasus yang Non-Criminal Related? Bukankah pemakzulan terhadap President Wahid (Gud Dur) tidak dilakukan dengan persetujuan atau keputusan MK untuk membuktikan President bersalah atau tidak? Meski sudah ada amendment, tapi itu fakta sejarah di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah impeachment di Indonesia. 

Karena itu dalam kasus Bank Century, rekomendasi DPR yang telah diputuskan oleh PANSUS dan mayoritas anggota DPR, maka rekomendasi itu adalah keputusan DPR dan secara KONSTITUTIONAL, President SBY diharuskan melakukan rekomendasi itu.

Sekarang bagaimana bila President SBY menolak rekomendasi itu?

President SBY harus sadar bahwasanya hal itu akan membawa dampak politik yang berkepanjangan dan bisa mengarah ke krisis konstitutional. Sebab the political and konstitutional ramifications dari penolakan rekomendasi DPR itu sangat besar dampaknya.

1). Penolakan itu membuat DPR mejadi lemah dan bahkan fungsi Oversight Role DPR terhadap Executive tidak ada artinya, alias becomes meaningless.

2). Kalau President saat bisa dengan seenaknya menentang keputusan DPR bahkan seolah-olah menantang keputusan DPR, hal ini akan sangat berbahaya bagi kelangsugan kerja DPR dimasa depan bahkan mengancam tugas, tanggung-jawab dan kewajiban DPR terhadap Executive.

President dimasa depan akan menjadikan tindakan President SBY ini sebagai fondasi untuk menolak rekomendasi DPR bila President menganggap secara politis merugikan dia sebagai President atau badan Executive secara luas. This is a recipe for political disaster.

3). Lebih dari itu, DPR sebagai badan legislative bisa melakukan counter attack untuk menghukum Presiden SBY dengan melakukan high manuever politic yang bisa menyulitkan jalan pemerintahn Presiden SBY. 

Penolakan Presiden SBY terhadap rekomendasi DPR untuk me-nonaktif- kan Boediono dan Sri Mulyani bisa memicu pada potentis krisis konstitutional:

Saya tidak ingin melihat adanya showdown kekuatan antara Executive dan Legislative, antara President dan DPR. Tapi tampaknya President SBY tidak memahami the political and constitutional ramifications dari sikap menentang dan menantang hasil rekomendasi DPR.

DPR memiliki tugas konstitutional untuk mengawasi kerja Executive yang disebut "Oversight Role".

Tugas dan tanggung jawab ini tidak bisa di bargained, dikompromi, ditantang, ditentang dan dihilangkan oleh seorang President, the head of the Executive Branch. Kalau hal itu terjadi, that is the beginning of Constitutional crisis and the end of Democracy in Indonesia. A showdown kekuatan tidak bisa dihindari!

Dalam keadaan aman, DPR memiliki upper hand dibanding President, apalagi President Indonesia tidak atau belum memiliki HAK VETO.

Dalam setting saat ini, President Indonesia bisa dibilang a lame duck President at all times karena memiliki kekuasaan yang lebih rendah di banding DPR. DPR bisa melakukan apa saja dan President Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk MENOLAKNYA (atau mem-VETO keputusan itu).

Sebagai contoh:

DPR bisa menolak komposisi APBN 2010 yang diajukan pemerintah dan DPR bisa meminta pemerintah untuk merevisi semua alokasi APBN 2010 yang selama ini komposisinya adalah 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Pemerintah Daerah menjadi sebaliknya, yakni 30% untuk Pemerintah Pusat dan 70% untuk Pemerintah Daerah.

Bila tuntutan itu benar-benar diajukan DPR sebagai hukuman terhadap President SBY yang menolak rekomendasi DPR, terus mau apa President SBY?

Bila tuntutan itu tidak dilakukan, DPR memiliki alasan yang kuat untuk tidak meloloskan APBN 2010 sampai batas waktu yang menguntungkan DPR dengan dalih membela kepentingan dan nasib jutaan rakyat miskin yang hidup dipedesaan.

Dengan tidak meloloskan APBN 2010 sebagaimana yang diajukan pemerintahan SBY; sampai President SBY mau membuat perubahan alokasi dana APBN 2010, maka runyamlah program kerja President SBY.

President SBY bisa bikin public speech yang menghujat DPR untuk menarik simpati rakyat, tapi DPR bahkan memiliki amunisi yang lebih dasyat untuk memberikan fakta kepada rakyat.

Walhasil, mau tidak mau President SBY harus berkompromi dengan DPR, menuruti kemauan DPR, bila President SBY mau melihat program kerjanya berjalan.

Itu baru satu manuever politik yang bisa dilakukan DPR untuk menghukum President yang menolak kehendak DPR.

Ada ratusan political maneuvers yang bisa dilakukan DPR untuk membuat President dan jajaran Executive tunduk pada kemauan DPR, yang bisa bikin pusing President SBY dan orang-orang di Executive. Kerena itu, it does not do any good for President SBY to challenge the will of DPR, apalagi menolak rekomendasi DPR.

Kalau President SBY tetap keras kepala melawan kehendak DPR, this is the beginning of the end of his Presidency, karena DPR sebagai institusi legislative bisa menolak memberikan dana dari semua kerja program pemerintah yang dianggap tidak sesuasi dengan kepentingan rakyat dan kepentingan rakyat adalah topik yang sangat broad, objektive dan debatable!

DPR memiliki banyak senjata dan amunisi yang bisa bikin pusing President SBY bila mereka mau. Berapa lama perang Prsident SBY melawan DPR, tergantung berapa lama President SBY akan tetap keras kepala melawan kehendak DPR.

Karena itu, meski aturan pemakzulan di Indonesia masih meguntungkan posisi President SBY dan Wakil President Boediono saat ini for a short term, menolak rekomendasi DPR akan sangat fatal dalam jangka panjang dan bisa membawa pada potensi krisis konstitusional di masa depan di Indonesia.

Chris Komari
Chairman
Partai masa Depan Indonesia Mandiri (PARMADIM)
www.futureindonesia .com

--- On Fri, 3/19/10, Koran Digital <korandigital@ gmail.com> wrote:

From: Koran Digital <korandigital@ gmail.com>
Subject: [Koran-Digital] Hanta Yuda: Memakzulkan Wakil Presiden, Mungkinkah?
To: koran-digital@ googlegroups. com
Date: Friday, March 19, 2010, 2:09 AM

Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK DAN PENELITI THE INDONESIAN INSTITUTEPopularita s kata "pemakzulan" kembali meroket setelah kemenangan opsi C--adanya unsur penyimpangan dan pelanggaran dalam proses kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) terhadap Bank Century--dalam voting rapat paripurna DPR tentang kesimpulan laporan Panitia Angket Century. Konsekuensi keputusan itu, Wakil Presiden Boediono--dalam kapasitas sebagai Gubernur BI--dianggap oleh parlemen sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran proses kebijakan tersebut. Pertanyaannya: sejauh mana peluang memakzulkan Wakil Presiden Boediono berdasarkan mekanisme konstitusi dan dinamika konstelasi politik yang berkembang?
Mekanisme konstitusional Para ilmuwan politik mancanegara terpecah dalam dua perspektif dalam melihat pemakzulan (impeachment) atau pencabutan mandat sebelum masa jabatan berakhir.
Ilmuwan politik penganut demokrasi liberal, misalnya, lebih percaya bahwa pencabutan mandat hanya dapat dilakukan melalui pemilu berikutnya. Karena itu, pencabutan mandat di tengah masa jabatan tidak bisa dilakukan, dan satu-satunya mekanisme untuk menghukum pejabat politik yang berkhianat hanya menunggu pemilu.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa pemilu hanyalah salah satu mekanisme pemberian mandat bagi para pejabat politik.
Warga negara melalui lembaga perwakilan (parlemen) diberi akses untuk mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan. Karena itu, pencabutan mandat atau pemakzulan sebelum berakhirnya masa jabatan dimungkinkan, baik dalam sistem parlementer maupun sistem presidensial. Hanya, persyaratan dalam sistem presidensial lebih berat dibanding dalam sistem parlementer.
Pemakzulan dalam sistem presidensial hanya bisa dilakukan karena alasan pelanggaran hukum dan lebih spesifik lagi dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu. Kategori tindak pidana ini, menurut konstitusi beberapa negara yang menganut sistem presidensial, dibatasi tiga hal.
Pertama, pengkhianatan terhadap negara (treason). Kedua, korupsi atau penyuapan (bribery and high crimes). Ketiga, pelanggaran- pelanggaran ringan tetapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela (misdemeanors) . Ketiga hal ini sejalan dengan konstruksi sistem presidensial dalam UUD 1945 Pasal 7-A.
Karena itu, kendatipun rapat paripurna DPR memutuskan opsi C, tahapan proses pemakzulan masih sangat jauh. DPR perlu menginisiasi hak menyatakan pendapat terlebih dulu, dan melakukan paripurna untuk menentukan hak menyatakan pendapat bahwa Wakil Presiden Boediono telah melakukan pelanggaran. Seandainya hak menyatakan pendapat diterima paripurna DPR, masih diperlukan paripurna lagi untuk menentukan apakah hal itu perlu dibawa ke proses pemakzulan. Pada tahapan ini, berdasarkan Pasal 7-B UUD 1945, usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa wakil presiden telah melakukan pelanggaran.
Pengajuan permintaan DPR kepada MK dapat dilakukan dengan syarat harus didukung paling sedikit dua pertiga anggota DPR yang hadir dalam paripurna DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga anggota DPR. Itu artinya, diperlukan dukungan 373 suara dari 560 kursi DPR untuk membawanya ke MK. Seandainya Partai Demokrat, PAN, dan PKB tetap solid-seperti voting antara opsi A dan opsi C-maka persyaratan itu hampir mustahil dapat tercapai. Jika kita berandai-andai, misalnya persyaratan 373 suara DPR itu dapat dicapai, tahapan selanjutnya MK akan menilai apakah Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau tidak, serta mengeluarkan putusan paling lama 90 hari setelah permintaan DPR kepada MK.
Apabila MK berpendapat Wakil Presiden tidak bersalah, proses pemakzulan terhenti. Sebaliknya, jika MK menyatakan dia bersalah, selanjutnya DPR akan mengadakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Wakil Presiden kepada MPR. Pengambilan keputusan oleh MPR harus dihadiri minimal tiga perempat anggota MPR dan disetujui minimal dua pertiga jumlah anggota yang hadir. Jika melihat persyaratan proses pemakzulan dalam konstitusi UUD 1945, pemakzulan Wakil Presiden masih sangat jauh prosesnya dan peluangnya pun sangat kecil. Selain itu, proses politik konstitusional ini sangat ditentukan oleh dinamika konstelasi politik serta kepentingan dan target politik partai-partai di DPR.
Konstelasi politik Paling tidak, ada empat kemungkinan skenario partai-partai di DPR. Pertama, proses di DPR akan berlanjut pada pemakzulan Wakil Presiden Boediono. Setelah itu, merembet kepada Presiden Yudhoyono, dan berakhir dengan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. Skenario ini ada kemungkinan paling diminati partaipartai di luar pemerintahan, seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura. Namun skenario ini tampaknya akan sangat sulit dilakukan dan hampir tidak mungkin terjadi. Partai Demokrat dan partai-partai mitra koalisi tampaknya masih bersepakat untuk mempertahankan Yudhoyono hingga akhir masa jabatannya. Partai Golkar bahkan jauh-jauh hari telah memastikan posisi Presiden akan aman hingga 2014.
Kedua, pemakzulan Wakil Presiden Boediono. Skenario ini boleh jadi diminati partai-partai mitra koalisi yang memiliki suara cukup signifikan, seperti Golkar, PKS, dan PAN. Ketiga partai mitra koalisi pemerintah ini berkepentingan untuk melancarkan skenario ini dengan target mengambil posisi wakil presiden. Selain oleh Golkar, PKS, dan PAN, posisi wakil presiden tentu juga diminati oleh PDIP. Namun, tampaknya PDIP agak kesulitan karena harus berhadapan dengan sikap Megawati yang sejak awal menolak bergabung dengan pemerintah.
Ketiga, tidak ada pemakzulan Presiden/Wakil Presiden, melainkan hanya reshuffle kabinet, terutama dengan posisi Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai target utama. Skenario ini tampaknya dipersiapkan jika skenario pemakzulan gagal. Skenario ini tetap diminati partai-partai, meskipun hanya menjadi alternatif.
Keempat, tidak ada pemakzulan maupun reshuffle kabinet. Skenario ini tetap diminati partai-partai, meskipun hanya menjadi alternatif terakhir. Setidaknya untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan Presiden atau akan dibarter dengan kasus lain.
Jika dinamika politik mengarah ke skenario ketiga atau keempat, hampir bisa dipastikan tidak akan ada pemakzulan. Kalaupun dinamika yang berkembang menguat pada skenario kedua--dilanjutkan pada proses pemakzulan wakil presiden-tetap ada potensi terjadi kompromi dan negosiasi politik atau barter politik. Karena itu, pemakzulan wakil presiden hampir pasti tidak akan terjadi. Tetapi, mengingat adanya adagium politik "tidak ada yang tak mungkin dalam politik", saya cukup berpendapat bahwa memakzulkan Wakil Presiden--karena kasus Century--melalui proses konstitusional di parlemen "hampir"tidak mungkin terjadi.

http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2010/03/19/ ArticleHtmls/ 19_03_2010_ 011_001.shtml? Mode=1


Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang!

Tidak ada komentar: