Minggu, November 28, 2010

Cerita Cinta Jakarta [Jakarta Love Story]


Jakarta, 26 November 2010

Tentang Sepi … Pernahkah kau merasa seperti ini …
Kau melihat orang lain bahagia bersama, sementara kau sendirian dalam ketidakpastian hidup. Kau hanya merasakan betapa dunia ini menjadi terlalu sepi. Kau hanya merasa sepi … sepi dan sendiri dalam semua hal yang kau lakukan. Ketika kau terjebak dalam keramaian, ketika kau berada di rumah, ketika kau sedang berjalan entah kemana … yang kau rasakan hanyalah kesepian. Tanpa arah. Tak ada yang kau tuju. Dunia ini benar-benar terasa begitu luas dan kau berada di tengah-tengahnya dalam kesendirian. Dalam kesepian yang teramat sangat. Tak ada yang menemani. Tak ada yang menuntun. Kau benar-benar merasa sendirian. Pernahkah kau merasa seperti itu?

Tentang Hidup … Pernahkah kau berpikir seperti ini …
"Aku akan tumbuh menjadi apa yang Tuhan inginkan sebab itulah yang dikehendakiNya." Atau kau mungkin berpikir seperti ini "aku akan menjadi apa yang diinginkan orang tua yang melahirkan dan membesarkan aku, sebab mereka lah yang paling berjasa dalam hidupku dan hidupku hanya untuk mereka." Atau … mungkin kau malah berpikir seperti ini "aku hanya akan menjadi apa yang aku inginkan. Apa yang aku pilih. Sebab Tuhan telah memberiku akal dan pikiran dan hati ini untuk memilih. Untuk memutuskan. Tak perlu aku mengikuti orang lain, pun juga orang tuaku. Sebab aku telah dipercaya Tuhan untuk memakai akal dan pikiran dan hatiku untuk memilih jalanku. Ya … aku yang memilih dan menentukan jalanku. Jalan hidupku."

Dan Tentang cinta … Pernahkah kau berpikir dan bertanya seperti ini …
Mengapa Tuhan menciptakan manusia dan cintanya, jika akhirnya manusia harus mati meninggalkan cintanya? Apakah kau pernah memikirkan bahwa, jika kita terlalu mencintai seseorang, maka kita tidak akan pernah memikirkan bahwa kita akan kehilangan dia. Pernahkah kau berpikir untuk tidak perlu mencintai siapa pun karena kau takut akan kehilangan dia nantinya. Dan pernahkah kau bertanya apa yang akan terjadi padamu jika kau harus menempuh jalan hidup yang berbeda, berpisah dengan seseorang yang sangat kau cintai. Apalagi perpisahan itu harus terjadi karena cinta kalian yang terlarang. Terlarang???
Benarkah ada cinta yang terlarang? Bagaimana mungkin cinta itu bisa terlarang lalu manusia dengan angkuh yang menjadi hakimnya? Jika benar ada cinta yang terlarang, lalu Mengapa Tuhan harus menciptakan cinta? Mengapa Dia harus melahirkan cinta jika cinta itu terlarang, jika cinta itu harus dihakimi oleh manusia?

Pernahkah kau mempertanyakan itu?
 
[PROLOG, To Be Continued]

Kamis, Agustus 12, 2010

Suara Hati Dari Bawah

Entah mengapa, aku begitu melankoli malam ini ...
aku menemukan mozaik-mozaik memori kenangan,
perlahan bergantian hadir dari balik langit Jakarta,
semua bercerita tentang sahabat, tentang hidup, tentang cinta ...

semua hadir, berdialog dalam bahasa yang tidak aku mengerti ...
satu per satu dari mereka berbicara tentang makna,
makna kesepian, arti kesendirian yang kini menyelimuti ku ...
mereka juga membisikan cinta dari satu sosok di dekatku,
dia yang sebentar lagi pergi,


dan betapa ketika sosok itu masih ada,
aku bahkan telah merasakan kesunyian,
aku benar-benar ingin mencurahkan kasih sayang,
pada seorang anak manusia ...


suara hati ini, begitu kuat,
begitu dalam, dari bawah menembus batas hening malam ...
aku tahu, bahwa dia tahu aku padanya ...



[untuk seseorang yang menemani malam dalam kecanggungan]

Dan Ramadhan datang lagi ...


Bismillaah ...

Marhaban ya Ramadhan ... bulan suci ramadhan telah datang. gue termasuk salah satu dari milyaran umat muslim yang bergembira, bersuka cita menyambut datangnya bulan kemenangan umat ini. ramadhan kali ini gue jalanin kembali di Jakarta. ada banyak hal-hal baru dan unik selama ramadhan kali ini.

salah satunya adalah fakta bahwa ini ramadhan pertama sebagai bang thayib baru, 3 kali puasa 3 kali lebaran gak pulang-pulang, whahahaha. ramadhan dan lebaran kali ini akan gue lalui benar-benar sendirian di kosan. karena semua saudara-saudara gue tercinta di Rumah Mimpi ini pada pulang kampung. tahun-tahun sebelumnya ramadhan gak bertepatan dengan libur akademik seperti sekarang, jadi sebelumnya masih bisa bersenda gurau ria bersama kawan-kawan terhebat itu.

sekarang gue sendirian, whahahaha. padahal gue sudah berharap-harap cemas si Ale mau stay and gak usah pulang kampung, tapi apa daya setiap orang punya preferensi dan kepentingan masing-masing yang tidak bisa dipaksakan dan kita harus mengerti, whahahaha. dan akhirnya gue akan menghadapi paruh kedua dan ketiga ramadhan seorang diri di kosan.

kehadiran MABA 2010 bisa sedikit menambah sosok penghibur di sekitar gue selama ramadhan ini. orang tua yang memaksa gue pulang tak begitu gue hiraukan karena gue tahu mereka memaksa dalam keterpaksaan yang lain, whahaha. sedang mencoba mengurangi beban-beban yang gue berikan kepada orang tua gue tersayang di sana.

gue hanya berharap dalam kesendirian ini gue bisa mendapat banyak pelajaran hidup. kesendirian bukan lah hal baru bagi gue. jauh sebelum-sebelumnya gue adalah sosok yang sangat soliter dan cenderung menutup diri dari keterbukaan. jadi kesendirian seperti ini tidak akan membuat gue jatuh ke titik terendah. justru kesendirian seperti di momen ini bisa memberi banyak peluang waktu bagi gue untuk merenungi hidup. merenungi segala hal yang berlalu di sekitar gue.


mungkin momen ramadhan seperti ini memang sedikit membuat gue sangat melankoli. akan tetapi itu bukanlah hal yang perlu gue takutkan. hidup tidak mesti selalu dijalani dengan keras. sesekali kita perlu berbaur dengan suasana kelembutan dan unsur sentimentilnya.


semoga ramadhan kali ini bisa memberi banyak pelajaran hidup bagi kita. semoga bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. amiin.


Dan aku tak bisa pungkiri,
bahwa kepergianmu membuatku sadar,
apa arti kesepian, apa arti kesendirian ...

dan dalam malam-malam ini
ketika raga kita terpisah jauh,
dan aku hanya sendiri dalam dingin,
hanya kau yang pasti terlintas dalam pikirku ...

ku hanya berharap, suatu saat nanti,
kau akan tahu perasaan ini,
perasaan yang begitu kuat, begitu dalam, padamu ...
wahai kawan, wahai saudaraku, wahai kasih ...
[sedang dilanda cinta ...]

Rabu, Agustus 04, 2010

"Mangan ora Mangan asal Kumpul" [sebuah Tradisi pendekatan emosional]

Bismillaah ...

Ulang tahun biasanya menjadi momen khusus bagi sebagian besar orang. ada yang merayakannya dengan pesta meriah, ada yang berpuasa (inilah contoh yang paling bermanfaat tapi bukan berarti yang lain gak ada), ada yang sekadar mengingatnya (hari ini ultah gue yah, dll), atau ada juga yang bahkan gak ingat sama sekali (yang terakhir ini adalah tradisi di keluarga gue yang gak pernah saling ingat waktu ultah anggota keluarga lainnya, whahaha). 

semuanya dilakukan hanya untuk sekadar mengingat bahwa usia bertambah yang hakikatnya waktu hidup kita berkurang. bukan untuk melakukan pengkultusan waktu ulang tahun, apalagi melakukan tradisi-tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar ketuhanan.

bicara soal perayaan, ada banyak bentuk ungkapan yang dilakukan, ada yang berupa pesta, makan-makan, nangis-nangis, ada juga yang berupa tindakan-tindakan penyiksaan dan penganiayaan dalam skala kecil yang tidak dimaksudkan untuk menyakiti tetapi lebih untuk memberi impresi atau kesan tak terlupakan. hal ini telah menjadi sebuah tradisi pendekatan emosional di banyak kalangan anak muda masa kini. hal ini pula telah gue dan saudara-saudara seperjuangan gue di Rumah Mimpi telah lakukan untuk ulang tahun Ale-Andry Leo Saputra (salah satu penghuni Rumah Mimpi) yang ke-19 (abad, dan dia ngaku-ngaku 14 tahun, realistis dong say, whahaha).

ulang tahun ale jatuh pada 2 Agustus dan gue sama anak-anak yang lain udah nyiapin kerjaan jail untuk dia di tangal dua itu (gue juga udah kasih kado, sory le lagi bener-bener gak da duit buat beli buku baru, jadi buku bekas aja, insya Allah angat bermanfaat nanti, amiin, lo ke Jepang, gue ke Ingris, amiin ya Rabb).

Akan tetapi si ale lagi ikut turnamen badminton di FISIP UI bareng UKMA Badminton kampus gue dan dia menang di pertandingan pertamanya itu. otomatis Ale mesti lanjut ke per-8 final melawan pemain dari Gunadarma. gue dan anak-anak lain akhirnya batal untuk ngerjain ale pada tangal 2 malemnya. kami memberi kesempatan si boy ini untuk istrahat dan menyiapkan diri dalam pertandingan berikutnya. dengan kata lain kita-kita pada nunggu dia sampe kalah baru bisa ngerjain, whahahaha.

walhasil di tanggal 3 agustus 2010 maghrib kita-kita udah dapat kabar kalo akhirnya pria yang suka narsis bilang dirinya ganteng ini (padahal tidak terlalu alias standar-standar saja, whahaha) telah tumbang di tangan pemain gunadarma setelah melakukan perlawanan secara membabi buta (whahahaha, sory Le, kata-kata gue lebay). dan ide liar kemarin pun muncul untuk segera ngerjain si ale karena, selain itu gue juga udah capek-capek ngumpulin duit dari anak-anak (aksa sama harry doang sih, whahaha) buat beli snack yang banyak banget buat makan-makannya, jadi biar gak mubasir juga tu duit, whehehe.

dan rencana itu pun kita jalankan tepat tengah malamnya ketika si korban telah tertidur lelap di kasurnya yang tidak begitu empuk dengan gaya striptis dan sengaja mengambil wilayah kasur gue (gue tahu le kalo lo ngarep berbagi kasur dengan gue kan, whahahaha), dan dia juga sepertinya lagi mimpi yang enggak-enggak sebab terlihat dari wajah tidurnya yang mesum.

dan tiba-tiba empat aktor lapangannya datang mengganggu mimpinya yang jorok itu. gue, aksa, winner, dan zul, mendekati korban. sementara harry dan hanif standby di belakang siap mendokumentasikan detik-detik penganiayaan ale yang cukup dramatis walaupun antiklimaks, whahahaha.

ale mulai tersadar dan mencoba berontak ketika gue dkk mulai menekan dan mengikat kaki dan tangannya. aksa memplester mulutnya serta zul mengikat kedua tangannya dengan plester besar secara membabi buta dan sangat lebay. walhasil dan waljinah, ale kini nggak bisa bergerak. bahkan kakinya yang seperti talas bogor tak mampu dia gerakan dibawah tindihan gue dan winner, whahaha.





lalu kami membawanya ke teras atas Rumah Mimpi (tempat favorit gue kalo lagi melankoli, sedih, dan banyak pikiran), membaringkannya, dan ... (hayoo, jangan mikir jorok yah, whahaha) datanglah harry dengan air dan bedak herosin lalu mencampurkan keduanya di sekujur badan ale yang hanya bisa pasrah, whahahaha. gue bisa bayangin rasa hangat lain-lainnya tuh bedak herosin le, whehehehe.

setelah berfoto-foto ria kami mempercepat prosesinya karena aksa dan harry harus segera ke kampus nginep buat ospek maba. setelah melepas ikatan tangan ale, seketika pemain tunggal badminton UB ini langsung berlari mengejar winner untuk balas dendam, whahaha. winner yang gak pake baju spontan kabur keluar bahkan di jalan sempat dikirain maling karena dikejar-kejar ale terus gak pake baju, whahaha, sayang gak sempat direkam momen itu.

terakhir gue ngumpulin anak-anak semua dan ngajakin diskusi banyak hal, yang gak bisa gue share disini. termasuk ngasih ucapan selamat kepada si ale-ale yang berultah. makan-makan snack seadanya termasuk snack tambahannya aksa yang nggak sempat gue bilang ke dia sebelumnya (sekali lagi sory ca, whehehehe). lalu semuanya kembali ke peraduan masing-masing sebab mata sudah capek, dan hati sudah cukup gembira karena kebersamaan masih bisa terjalin di masa-masa sibuk dan paceklik finansial seperti ini, whahahaha.

that's what I want to say. semoga kebersamaan yang kita bangun ini bisa memberi impresi, pengalaman dan pembelajaran hidup kepada kita semua. betapa hidup tak bisa dijalani sendiri. dan betapa sahabat dan persaudaraan itu begitu indah berarti jika dibangun dengan tulus. jangan ada kata-kata sendiri untuk memikirkan setiap hal. jangan ada kata-kata sendiri untuk menikmati apa pun. jauh lebih indah, jauh lebih baik jika kita berbagi, meskipun hanya sedikit. namun artinya tak ternilai saudaraku.

_Sebuah Mozaik Memori Indah yang mungkin akan segera berakhir, tapi akan tetap abadi dalam catatan ini. selamat bekerja kembali dan raih mimpi-mimpi kita bersama lagi ...

dari sini, dari Rumah Mimpi [again, Happy Birthday my beloved brother Andry Leo Saputra, Allah bless us, jangan lupakan dan sia-siakan perjuangan kita, semangatttt, I believe in You]

Selasa, Agustus 03, 2010

Kesendirian yang Berarti

Dalam kesendirian, cermin hatiku terbuka ...
dan nampaklah kebenaran hakiki, tabir yang selama ini tersembunyi,
tentang diri yang tak sempurna ini ...
tentang cinta yang tak mampu ku pendam lagi,

dan betapa ketika kesepian melanda,
suara hati tak mampu lagi berdusta,
bahwa sebenarnya cinta itu ada,
begitu kuat, begitu dalam, dan menyiksa ...

takdir hidup mungkin tak sejalan,
sebab cinta itu mungkin terlarang...
tetapi hati bukan karang,
hati ini lemah, mudah tergores, terluka peraasaan...

dan hanya waktu yang tersisa,
menjadi penentu dari semua perjalanan ini,
namun satu yang pasti, bahwa hati dan cinta ...
tak pernah tunduk oleh waktu...

kesendirian ini mengajarkanku, bahwa ...
hati dan cinta ini selalu bermesra dalam keabadian ... [sekalipun ia terlarang]

Jumat, Juli 30, 2010

Di Luar Mati Kepanasan, Di Dalam Kampusku [Bisa Mati Beku]

Bismillaah ...


Hari ini gue menulis lagi di meja Tax Center Universitas Bakrie (sebagian besar kawan-kawan udah komplain seolah-olah ruangan ini jadi ruang pribadi gue, whahaha, sory)-kampus gue,  yang berlokasi di segitiga emas Kuningan, Jakarta Selatan. ya, tulisan kali ini sengaja gue buka dengan wacana subjektif tentang kampus gue, sebab yang mau gue tulis memang tentang salah satu dari sekian banyak hal-hal yang sangat unik dari kampus merah marun ini. ada pun hal yang paling gue concern saat ini adalah, suhu kampusnya yang sangat dingin minta ampun, terutama di tempat gue menulis ini, yakni Tax Center, ruang yang baru sekitar tiga bulanan hadir sebagai penghuni baru di Pulau Abu-Abu ini.

Yup!! beberapa menit sebelumnya, gue basah keringatan (untung wangi) seolah bakal mati kepanasan gara-gara udara Jakarta yang kotor, panas, dan pengap selama perjalanan menuju kampus bersama beberapa junior yang tidak perlu saya sebutkan namanya atau sebut saja nama mereka mawar, ali, dan lina (alumni SMA gue juga, whahaha). Dan ketika gue memasuki pintu depan kampus UB, hawa sejuk membuat otak menjadi plong. pikiran kotor (semakin kotor, whahaha) terdegradasi menjadi pikiran-pikiran yang positif, bener-bener seperti baru keluar dari neraka, lalu kemudian nyasar di Sorga. betapa gue akui, secara fasilitas kampus ini memang mencoba memberi pelayanan yang kondusif demi menciptakan suasana yang nyaman bagi seluruh civitas akademika dalam menjalankan aktivitas keseharian di lingkungan akademis ini.

sayangnya, buat gue dan beberapa kawan-kawan mahasiswa lain yang tidak terlalu terbiasa dengan suhu dingin (maklum biasanya pakai AC alami) hal ini terkadang justru sangat mengganggu. tangan dan seluruh tubuh menggigil bahkan hampir-hampir tak bisa bergerak saking kedinginan. tapi hal itu masih bisa diselesaikan dengan menaikan suhu pendingin ruangannya. di semua ruangan yang ada hal itu masih bisa dilakukan. tetapi malangnya nasib tak dapat ditolak, tempat gue biasa menulis di dunia maya seperti sekarang, yakni Tax Center UB, AC-nya gak bisa dinaikin suhunya [at least begitulah kata security dan teknisi yang saya mintai tolong sebelumnya untuk menaikan suhu AC-nya].

Parahnya lagi, diantara semua ruangan di UB, kayaknya ruangan ini menjadi yang paling dingin di antara yang lain. Bahkan Lab.Komputer UB (yang saat ini tengah berhibernasi) yang dulu menjadi tempat terdingin kedua (setelah kutub utara-selatan) menurut gue, dinginnya telah tersaingi dengan suhu amat rendah di Tax Center ini. persendian tangan gue menjadi sangat kaku, sulit menggerakkan otot-otot jari tangan gue sehingga keyboard komputer yang gue tekan  pun asal-asalan.

kaki gue menjadi keram. kepala pusing, mata berkunang-kunang, perut mual, pengen makan yang khas (nah lo, ngidam apa anemia kali ya??) yang jelas sekujur tubuh menjadi tidak begitu nyaman dengan kondisi ini. akan tetapi gue tetap memaksakan stay di dalamnya. sebab, saat ini cuman TC (singkatan gue seenaknya) ini yang bisa gue pakai secara free buat internetan di kampus selain perpustakaan. lab.komputer dalam proses reparasi, lab.bahasa digunakan oleh bagian akademik, sementara perpus beberapa situs soial media diblokir sehingga gak asyik lagi untuk dipakai online. masih ada alternatif lain sebenarnya, yakni laptop teman (whahahahaha). tapi sayang, semuanya juga pada standby di depan notebook masing-masing, nasib-nasib.

Terlepas dari semua celotehan suara hati gue yang tidak jelas dan tidak begitu penting dalam beberapa kalimat di atas, yang ingin gue state dalam tulisan ini adalah, salah satu hal terunik dari kampus gue adalah, gue gak mungkin mati kepanasan (seperti para pemain bola di AC-Hilang, Italia-krik...krik..krik), tapi gue merasa, bisa mati beku dalam kampus ini, apalagi di ruangan Tax Center ini, wahhahahaha. sumpah dinginnya tak tertandingi. [semoga celotehan ini bisa cukup dapat respon dari pihak-pihak yang mungkin merasa tersentil dengan ini, please no hurt feeling!]


-Seperti terkena Hipotermia di Kutub Utara ... [3.31pm]

Kamis, Juli 29, 2010

Teringat Mozaik-Mozaik Lama


Bismillaah ...


Di sudut kampus, gue duduk sendiri menikmati angin sore Jakarta yang seperti biasanya "tidak pernah segar". penuh polusi, debu apalagi, dan bercampur dengan berbagai hal lain yang membuatnya semakin khas. ya, udara Jakarta menurut gue adalah hal yang paling khas di ibukota ini. udara Jakarta juga yang secara mengejutkan menyibak pikiran gue sore ini dan membawa gue ke dalam labirin-labirin memori masa lalu.

gue teringat dengan mereka-mereka yang kutinggalkan disana. nggak terasa ini sudah masuk tahun ketiga gue merantau di negeri orang. bahkan sekarang sudah ramadhan dan lebaran ketiga gue nggak pulang-pulang. terus mencoba mengadu nasib dalam dunia pendidikan yang semakin hari tidak juga menunjukkan sebuah peningkatan yang berarti. hanya mencoba bertaruh dengan apa yang telah digariskan oleh Dia yang mengatur segalanya di atas sana. siapa tahu pengorbanan perantauan ini bisa memberi hasil yang positif dan memuaskan banyak pihak terutama mereka yang telah banyak berkorban untuk gue di kampung halaman.

hal terakhir ini lah yang secara tiba-tiba membuat gue menjadi sangat melankoli sore ini. gue teringat dengan senyum dan tangis orang tua yang melepas gue di bandara saat itu. betapa apa yang mereka korbankan ternyata begitu tak ternilai dengan apa yang gue berikan. dan betapa sungguh begitu besarnya asa mereka akan permainan nasib yang kini sedang gue jalani disini. mereka hanya bisa bisa berharap bahwa gue bisa memberikan yang terbaik. tapi entah gue bisa memberikan itu atau tidak, saat ini gue hanya bisa tertunduk, malu sekaligus tertantang untuk menjawabnya.

gue juga teringat dengan saudara dan handai tolan yang sudah lama sekali tidak kusapa disana. paling tidak hanya sekadar mengirimkan pesan singkat pun sudah jarang lagi akhir-akhir ini. selain upaya menghemat pengeluaran dari aktivitas mobile seperti ini, tetatpi juga karena waktu yang terkuras habis untuk mengurusi aktivitas-aktivitas dan rutinitas serta tanggungjawab disini. membuat komunikasi dengan mereka menjadi hal tidak lagi diprioritaskan. dan sore ini, udara kotor Jakarta, secara mengejutkan menyeret gue dalam kisi-kisi memori tentang mereka semua disana.

mungkin ini peringatan aja bahwa gue tidak boleh terlalu terlena dengan perjuangan, larut dalam euforia pengalaman merantrau di negeri orang dan menjadi lupa dengan semua yang di belakang. kesimpulan sesaat gue seperti itu.


Dan Kini Kubiarkan Masa Lalu Menghilang,
Tanpa Beban Aku Meninggalkan Belakang ... [Mungkin kah? Mungkin sih, tapi berat!]


RUMAH MIMPI [Era Baru ... Langkah Baru ... Semangat Baru]

















Bismillaah ... Salam Hangat, 


Semangat gue untuk menulis di blog datang lagi. Setelah bertekat untuk memperbarui semua item-item di blogspot gue yang pertama ini (yang gue bangun sejak dua tahun silam, whahahaha), gue juga telah memutuskan untuk membagi secara jelas substansi penulisan di beberapa blog yang gue kelola. dan untuk blogspot ini, akan menjadi ajang gue untuk menulis dalam gaya bahasa yang sederhana, populis, serta secara substansi lebih menjadi forum gue untuk menulis hal-hal yang bersifat pribadi, pengalaman hidup, hal-hal santai yang berhubungan dengan aktivitas serta interaksi sehari-hari gue di Bumi Allah ini.

adapun blog gue yang berada dalam wilayah wordpress, yakni www.msadam.co.cc hanya akan menjadi wadah gue untuk menuliskan hal-hal yang bersifat ilmiah, non-populis, pemikiran dan opini personal menyangkut hal-hal yang universal (kepentingan banyak pihak) serta menjadi wadah untuk pengembangan daya krtisi gue, seperti tajuk dalam blog tersebut, "Mahasiswa Bicara".

Sedangkan blogspot ini telah gue putuskan untuk lebih menjadi forum penulisan gue tentang orang-orang terdekat di sekitar gue, termasuk forum curahan hati. semuanya akan terangkum dalam sebuah mozaik literasi yang insya Allah gue usahakan akan terus berlanjut sampai semangat ini padam (dengan kata lain tidak akan pernah putus).

semoga apa yang gue cita-citakan ini bisa terwujud, amiin ... semuanya hanya untuk satu hal, yakni RUMAH MIMPI ... [sebab dari situlah semangat ini datang lagi]


Dan selama tangan ini masih ingin terus mengukir kata,
kaki ini masih ingin terus melangkah jauh,
mata ini masih kuat untuk menjagai hidup,
hati dan pikiran ini masih setia menemani langkah gontai kita,
maka ...
selama itu kita kan bersama kawan,
dan bersama kita 'kan menyambut asa kita,
yang akan berubah menjadi nyata ...

dan semuanya bermula dari sini,
dari Rumah Mimpi ...


[Untuk saudara-saudara seperjuanganku yang menempuh pendidikan di kampus UB, terutama anak-anak Laskar Penyanyi di Rumah Mimpi-nya]

Senin, April 26, 2010

Bangunlah kaum yang terhina dan lapar

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid. free.fr yang sampai
sekarang

sudah dikunjungi lebih dari 601 660 kali

Bangunlah kaum yang terhina

bangunlah kaum yang lapar

Menjelang datangnya Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei yang akan datang, yang
akan dirayakan di banyak penjuru dunia sebagai salah satu peringatan
kemenangan perjuangan kaum buruh/pekerja melawan penindasan, pemerasan atau
penghisapan kaum kapitalis reaksioner, maka di bawah berikut ini disajikan
teks atau lirik lagu « Internasionale » dalam bahasa Indonesia.

Bangunlah kaum jang terhina,

Bangunlah kaum jang lapar.
Kehendak jang mulja dalam dunia
senantiasa tambah besar.
Lenjapkan adat dan faham tua
kita Rakjat sedar-sedar.
Dunia sudah berganti rupa
untuk kemenangan kita.
Perdjuangan penghabisan,
kumpullah berlawan.
Dan Internasionale
pastilah di dunia.

Kitalah kaum pekerja s'dunia,
Tent'ra kerja nan perkasa.
Semuanya mesti milik kita,
Tak biarkan satupun penghisap!
Kala petir dahsyat menyambar
Di atas si angkara murka,
Tibalah saat bagi kita
surya bersinar cemerlang!
Perdjuangan penghabisan,
kumpullah berlawan.
Dan Internasionale
pastilah di dunia

Dikumandangkan oleh para perintis kemerdekaan

Lagu yang dijadikan oleh berbagai gerakan buruh dan golongan kiri di dunia
sebagai lambang perjuangan ini juga sudah dikenal d Indonesia sejak jaman
pemerintahan kolonial Belanda, dan dinyanyikan oleh gerakan–gerakan
nasionalis perintis kemerdekaan, serikat buruh dan anggota serta simpatisan
PKI, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

Namun, seperti yang dialami atau diketahui oleh banyak orang di Indonesia,
lagu « Internasionale » ini telah tidak bisa disuarakan dengan terbuka atau
terang-terangan dalam jangka yang lama sekali, karena dilarang oleh rejim
militer Orde Baru sebagai barang taboo dan dianggap berbahaya karena «
berbau komunis ». Karena itu, lagu « Internasionale » ini kurang dikenal di
Indonesia, tidak seperti di jaman pemerintahan Bung Karno ketika nyanyian
ini sering terdengar dimana-mana.

Sedangkan, ketika « Internasionale » ini dilarang di Indonesia oleh rejim
militer Suharto pada waktu itu, di banyak negeri di seluruh dunia lagu ini
disuarakan dengan lantang oleh berbagai rakyat dalam macam-macam bahasa,
yang jumlahnya melebihi 300 bahasa dan dialek, dan diterjemahkan dengan
sedikit perobahan-perobahan dari teks aslinya. Di seluruh dunia, hanya di
Indonesia di bawah Suhartolah lagu Internasionale dilarang atau ditabookan
secara terang-terangan dan menjadi sikap politik yang resmi dari rejim Orde
Baru.

Diciptakan semasa Komune Paris

Padahal, sejak lagu ini diciptakan pada tanggal 30 Juni tahun 1871 oleh
seorang penyair dan tukang kayu di Perancis, Eugene Pottier, sudah menjadi
sangat terkenal secara internasional di kalangan gerakan buruh dan
revolusioner. Eugene Pottier adalah anggota Komune Paris yang terkemuka,
yang merupakan pemerintahan klas buruh yang pertama kali di dunia, yang
berkuasa selama 72 hari di Prancis

Pemerintahan klas buruh Komune Paris dikalahkan oleh kaum borjuis
reaksioner, dan ribuan pendukung Komune dibunuh dan sekitar 50 000 orang
diadili. Eugene Pottier sendiri dijatuhi hukuman mati in absensia, sehingga
terpaksa melarikan diri untuk sementara ke Amerika Serikat, dan kemudian
kembali lagi ke Prancis. Syair gubahannya, yang mengumandangkan semangat
pembrontakannya melawan penindasan, penghisapan dan kemiskinan oleh klas
borjuasi, kemudian diisi sebagai musik oleh Pierre Degeyter dalam tahun
1888.

Sejak itu, lagu Internasionale yang teksnya membangkitkan semangat
perjuangan kaum buruh dan gerakan revolusioner atau gerakan kiri di banyak
negeri di dunia, menjadi lagu yang disuarakan oleh berbagai golongan yang
tergabung dalam macam-macam gerakan komunis, sosialis demokrat, trotskis,
anarchis, atau golongan progresif lainnya.

Disuarakan oleh gerakan revolusioner di dunia

Sepanjang sejarah perjuangan berbagai rakyat di macam-macam negara di
dunia dalam melawan fasisme dan kaum kapitalis dan klas borjuis reaksioner,
lagu Internasional merupakan sumber semangat yang besar dan penting bagi
banyak orang. Lagu ini dinyanyikan dalam kalangan Yahudi di ghetto-ghetto
Warsawa ketika melawan fasisme Jerman-Hitler. Juga oleh pasukan-pasukan
pembrontakan Spanyol melawan kekuasaan Jenderal Franco, atau di berbagai
gerakan revolusioner menentang para diktator reaksioner di Amerika Latin.

Jadi, selama lebih dari 100 tahun lagu Internasionale sudah mempunyai daya
yang besar untuk membangkitkan keberanian dan mendorong tekad bagi mereka
yang mau mengadakan perlawanan terhadap segala macam penindasan,
penghisapan dan ketidakadilan di berbagai penjuru dunia.

Pada dewasa ini, lagu Internasionale masih terus sering terdengar dalam
pertemuan-pertemuan penting dalam gerakan menentang neo-liberalisme dan
globalisasi, yang dilakukan oleh bermacam-macam gerakan yang luas, dan tidak
terbatas hanya oleh kalangan kiri, progresif, komunis, atau sosialis saja.
Ini dapat disaksikan dalam kegiatan-kegiatan di kalangan Third World Forum,
World Forum for Alternatives , di pertemuan-pertemuan di Porto Allegre
(Brasilia), di Caracas (Venezuela), di Bogota (Bolivia), di Afrika Selatan,
Mali, Kenya, atau di Prancis, Jerman, Italia, Spanyol dan negeri-negeri
Skandinavia.

Mengingat itu semua, maka kiranya untuk selanjutnya di Indonesia pun lagu
Internasional juga perlu dipakai sebagai pembangkit semangat perjuangan
gerakan buruh, dan mendorong persatuan serta menggalang setiakawan dalam
melawan segala macam ketidak-adilan dan pemerasan oleh kalangan kapitalis
reaksioner nasional maupun internasional, yang bersekongkol dengan para
penguasa dalam pemerintahan SBY.

Tidak perlu takut-takut lagi menyanyikan Internasionale

Di kalangan gerakan buruh Indonesia, dan juga di kalangan kaum kiri atau
golongan progresif dalam masyarakat, sudah tidak perlu takut-takut lagi
untuk mengumandangkan lagu Internasioale dalam kegiatan-kegiatan penting.
Sekarang ini, pemerintahan SBY, atau juga pemerintahan- pemerintahan lainnya
sudah tidak bisa melarang atau mencegah lagi diperdengarkannya lagu
Internasionale. Sebab, tindakan sebodoh itu hanya akan membikin lebih buruk
lagi muka pemerintahan SBY, yang selama ini sudah terlalu buruk oleh karena
berbagai persoalan besar dan kerusakan atau kebejatan yang meluas. Selain
itu, pasti akan mendapat perlawanan dari masyarakat luas dan sebagian
terbesar rakyat tidak mematuhi larangan semacam itu.

Sebab, sebagai contohnya, walaupun larangan terhadap beredarnya di negeri
kita marxisme resminya masih belum dicabut, namun dalam prakteknya sudah
banyak orang atau penerbit yang berani mengedarkan buku-buku yang berisi
ajaran-ajaran marxisme (atau berbau-bau komunis/PKI)

.

Marxisme lewat Google di Internet

Lagi pula, dengan adanya Internet, maka larangan terhadap diedarkannya
marxisme di Indonesia menjadi soal yang bisa dianggap kentut saja oleh
banyak orang. Sekarang ini, melalui Internet, setiap orang yang berminat
terhadap marxisme, komunisme, atau sosialisme, dapat memperoleh bacaan yang
beratus-ratus ribu halaman setiap waktu.dan secara bebas, dengan membuka
Google.

Contohnya : dalam website http://umarsaid. free.fr tersedia di halaman utama
(index) rubrik yang berjudul Marxisme. Dalam rubrik ini dapat dibuka, setiap
hari atau setiap saat, berbagai macam bahan bacaan tentang sejarah marxisme
di Indonesia, Tan Malaka, Leon Trotsky, Lenin, dan seabrek-abrek bahan
lainnya tentang marxisme).

Apa yang dikatakan Bung Karno

Dengan demikian, kiranya makin jelaslah kebenaran apa yang dikatakan Bung
Karno dalam tahun 1966 (setahun sesudah peristiwa G30S) bahwa marxisme tidak
bisa dilarang dan juga ketika ia mengatakan sebagai berikut : « Apa lagu
Internasionale itu hanya dinyanyikan oleh komunis tok ? Seluruh buruh !
Komunis atau niet communist, right wing atau left wing, semuanya menyanyikan
lagu Internasionale. Janganlah orang tidak tahu lantas berkata, siapa
melagukan Internasionale, ee, PKI ! God dorie (bahasa Belanda,kira- kira
artinya : Astaga atau Masya Allah) Lagu Internasionale dinyanyikan di
London, di Nederland, di Paris, di Brussel, di Bonn, di Moskow, di Peking,
di Tokio. Pendek, dimana-mana ada kaum buruh mengadakan serikat, menyanyikan
lagu Internasionale » (dikutip dari buku « Revolusi belum selesai , jilid
II, halaman 313).

Dewasa ini, bagi kita di Indonesia, mengumandangkan lagu Internasionale
merupakan penghormatan kepada pengorbanan para Digulis yang banyak meninggal
di pembuangan Tanah Merah dan para perintis kemerdekaan lainnya. Menyanyikan
lagu Internasionale bisa juga berarti menunjukkan sikap marah dan kebencian
kepada rejim militer Suharto beserta para pendukung setianya. Di samping
itu, mengumandangkan lagu Internasionale juga berarti ikut melestarikan jiwa
perjuangan revolusioner Bung Karno.

Paris, 26 April 2010

A. Umar Said

Jumat, April 23, 2010

DAMAI - Akhir Perseteruan Polisi-TVOne

Bila membaca media, dan kalau tak salah tafsir, inilah kira-kira kesimpulan hasil mediasi antara Polri dan Tv One:



1. Andris Ronaldi bukan markus palsu, tapi markus kelas teri. Kalau menurut anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, Andris ini kelasnya cuma calo STNK. Seperti mewawancarai seorang perawat untuk topik yang mestinya menghadirkan dokter ahli, kata BHM. Atau menurut istilah karangan saya, Tv One telah mempraktikkan "jurnalisme Mak Erot". Barang kecil dibesar-besarkan. Pokoknya terdepan menggemparkan.



2. Pengakuan Andris bahwa dirinya diminta menghafal skenario tanya-jawab sebelum wawancara (agar mengaku sebagai markus Mabes Polri), adalah tudingan bodong, alias dusta. Termasuk pengakuannya bahwa sebenarnya ia dihubungi sebagai narasumber topik TKI, dan bukan markus, juga bohong. Inilah yang membuat Tv One berang dan menyatakan akan menggugat balik Andris. Tapi menurut Karni Ilyas, seperti dikutip BHM, Tv One tidak akan menggugat balik.



Mengapa mendapat fitnah seserius itu Tv One legowo saja dan tak menggugat balik? Padahal sebelumnya sudah keras ingin memperkarakan bekas narasumbernya itu.



3. Tv One tak perlu minta maaf pada Polri karena sudah melakukannya dalam jumpa pers tempo hari (9 April). Ini bagian yang selalu membingungkan. Permintaan maaf 9 April itu permintaan maaf atas apa? (1) Karena menggunakan sumber palsu? (padahal Tv One yakin bukan), (2) Karena membuat Polri tidak enak hati? (ini wartawan atau ajudan jenderal).



Nah, setelah terpapar bahwa Andris bukan narasumber hasil rekayasa, tapi (hanya) kelas teri, di mana lagi meletakkan konteks permintaan maaf kepada Polri itu? Apakah itu permintaan maaf karena telah menggunakan "jurnalisme Mak Erot"? Lalu mengapa saat 9 April tidak diakui saja bahwa Andris memang sumber kelas "calo STNK"?



Bagaimana pula dengan nasib jutaan penonton yang sudah kadung berdecak kagum dengan kehebatan Tv One mendapat narasumber "markus Mabes Polri"?



Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dengan semua isi wawancara Andris? Benarkah ada ruangan di samping ruang Kapolri untuk urusan permarkusan dll yang sudah diumbar Andris? Harus meralatnya atau bagaimana? Jadi di Mabes Polri ada markus atau tidak? Atau cuma ada calo STNK?



Hal-hal lain yang juga belum terjawab adalah:



1. Bagaimana Dewan Pers melihat tindakan Polri yang menyadap pembicaraan antara Indy dan narasumber anonimnya (kesampingkan dulu bahwa ia Andris "si mulut besar"), dan menjadikannya sebagai bahan aduan ke Dewan Pers? Apakah ini baik-baik saja dan tak takut jadi preseden? Bagaimana kalau yang menyadap bukan polisi, tapi instansi atau perusahaan yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media? Bolehkah individu atau sebuah organisasi yang merasa difitnah oleh pemberitaan sebuah media, lalu membuntuti, mengejar, dan menyadap komunikasi antara wartawan dan narasumbernya, dan membawa material tersebut sebagai bahan aduan ke Dewan Pers, dan lalu diterima?



2. Mengapa Polri hanya memperkarakan Andris dan tidak turut menggugat Tv One (tentu secara perdata), sebagai media yang "turut serta" menyebarluaskan fitnah? Padahal Tv One sangat jelas terlihat tidak prudent dalam memilih narasumber untuk konteks ini.



3. Bagaimana pula dengan isi SMS/BBM Indy Rahmawati yang mengaku kepada Andris dirinya ditekan oleh bos di kantor Pulogadung untuk membuka jatidiri sumber anonimnya? Tekanan membuka sumber anonim bukan dalam rangka verifikasi, tetapi untuk melayani permintaan pihak lain (patut diduga melayani polisi). Bagaimana Dewan Pers melihat ini? Adakah "fatwa" khusus mengenai ini, atau dianggap selesai begitu saja.



Akhirul kalam, inilah 86 antara Polri dan Tv One yang difasilitasi Dewan Pers (?). Dan kita semua nyaris tak mendapat pelajaran apa-apa selain tentang "jurnalisme Mak Erot".... (*)



ta(b)ik,



dandhy



NB: kalau nilai catatan ini terdelegitimasi hanya karena saya tidak nyalon jadi anggota KPI (dan memilih jadi tukang shooting keliling), ya saya telan saja risiko itu....

Kamis, April 22, 2010

Membedah Ulang Gurita Cikeas




Judul Buku: George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas
Penulis : Komunitas Tanah Air
Editor : S.G. Artha
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : xvi + 174 halaman

SEJAK diperkenalkan Galang Press pada acara pre-launching (23/12/2009) di Jogjakarta, buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC), Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro (GJA) menimbulkan kontroversi. Tak kurang, Presiden SBY dalam beberapa kesempatan perlu memberikan sanggahan dan menyebutnya ''fitnah''. Para pendukung SBY pun, baik yang berlatar belakang akademikus maupun politikus, ikut menghujat MGC sebagai ''sampah''.

Kehadiran buku MGC yang sebagian besar menyingkap skandal korupsi atau ''perampokan'' Bank Century dan keterlibatan yayasan-yayasan Cikeas binaan SBY seakan menjadi momok yang menakutkan. Sebab, itu mengganggu kekuasaan pemerintahan SBY. Ketakutan tersebut tecermin dari reaksi keras pemerintah yang menilai buku tersebut berisi pelanggaran terhadap SARA, pencemaran nama baik, hingga berakhir pada pelarangan buku. Kita pun bertanya, apa jadinya kalau sebuah buku dibakar, dilarang beredar, dan penulisnya ''dihukum''? Apa bedanya dengan zaman Orde Baru yang membungkam dan melarang buku, yang sudah dikecam habis-habisan oleh gerakan reformasi? Apa bedanya dengan rezim antidemokrasi yang mengadili seorang penulis? Apa bedanya dengan praktik inkuisisi di zaman lalu?

Berlatar belakang pertanyaan itulah, Komunitas Tanah Air ikut andil dalam menanggapi buku kontroversial yang saat ini sudah ditarik dari pasaran itu. Yakni, menerbitkan buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas. Komunitas Tanah Air adalah komunitas yang sebagian besar anggotanya merupakan mantan aktivis '98 yang merasakan pahit-getir perjuangan melawan rezim Orde Baru hingga melahirkan reformasi. Mereka juga anak muda NU di Jogjakarta yang concern untuk mempertemukan antara ide-ide ke-NU-an/pesantren dengan ide-ide marhaenisme, ide-ide sosio-ekonomi, dan kerakyatan. Di bawah kepemimpinan Nur Khalik Ridwan, komunitas itu terus berada di barisan terdepan dalam mengontrol bangsa, menentang praktik KKN, dan ketimpangan sosial-ekonomi.

Hingga kini, atau lebih tepatnya hingga buku ini terbit, belum ada buku atau kajian yang coba merespons terbitnya MGC secara serius. Hanya, saat buku ini memasuki naik cetak, telah muncul dua buku lain yang menanggapi buku yang ditulis GJA tersebut. Yaitu, buku Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku (ditulis Setiardi Negara, Jakarta) dan Cikeas Menjawab (ditulis Garda Maheswara, Jogjakarta). Meski demikian, nada dua buku tersebut tampak terkesan reaktif dan bukan mengapresiasi secara kritis (hlm. vi-vii).

Berbeda dengan dua buku di atas, buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas memiliki model dan cara pandang yang berbeda sama sekali. ''Kami menulis buku karena ingin menyikapi buku. Bagi kami, membakar dan melarang buku adalah pekerjaan yang menunjukkan belum menjadi manusia yang beradab, yang akan semakin memperlama penemuan tentang arti menjadi Indonesia yang berwawasan luas, dan tegak berdiri secara terhormat di mata dunia, semakin tergerus mundur. Kami belajar dari masa lalu, bahwa pelarangan dan pembakaran buku tidak bisa melarang dan menghentikan gagasan,'' (hlm. 11-12).

Cara pandang yang ditawarkan Nur Khalik Ridwan dkk melampaui buku-buku sebelumnya; bukan sekadar membebek dan "mengamini tanpa reserve" buku MGC. Banyak kelemahan yang dapat ditemukan dalam buku MGC. Bahkan, jika dibandingkan dengan buku George sebelumnya, yaitu Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (diterbitkan LKiS Jogjakarta, 2006), penggarapan buku MGC terkesan tidak serius, seperti penulisannya yang kurang sistematis, tanpa pendahuluan, dan kurang mendalam, baik dari segi analisis maupun keragaman datanya.

Namun demikian, Komunitas Tanah Air juga tidak setuju dengan upaya kelompok-kelompok "yang disebut dalam buku" (termasuk para pendukungnya) melarang, apalagi memberedel, dan menyebutnya buku itu sebagai ''sampah''. Penyebutan ''sampah'' muncul karena dilatarbelakangi ketidakpahaman pihak yang menanggapi. Arianto Sangaji mengungkapkan, banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ''jejaring korupsi'' yang mendasari buku MGC. Bisa ''dimaklumi'' bila pelakunya adalah para politikus karena kekuasaannya terganggu.

Salah satu solusi yang ditawarkan para mantan aktivis '98 dalam buku ini adalah mendorong bangsa Indonesia untuk bersikap bijak, yakni menghidupkan iklim adu argumentasi yang proporsional; buku dibalas buku, penelitian hendaknya juga dibalas penelitian, bukan malah diintimidasi dengan segala bentuknya.

Bagi mantan aktivis '98 itu, menulis buku adalah kegiatan manusiawi dan kegiatan membangun peradaban. Banyak peradaban yang dapat berkembang dan jaya karena menghargai buku, mencetak buku-buku, dan membuat iklim yang baik agar perdebatan dan diskursus dalam sebuah buku dan wilayah sosial bisa berkembang. Fungsi buku ialah dibaca, baik untuk memperkaya perspektif maupun memperdalam kritik. Buku adalah gizi rohani umat manusia. Karena itu, juga gizi rohani bagi bangsa Indonesia.

Lihatlah founding father's Indonesia: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan banyak lagi yang berbeda dari segi ideologi. Mereka membaca semua buku dari berbagai referensi, mulai yang ''kanan'' sampai yang ''kiri''. Mereka juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Tradisi seperti itulah yang tidak lagi kita temukan pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, belakangan. Jangankan membaca dan menulis buku, pemimpin kita justru sibuk ''memberedel'' buku.

Seorang pemimpin yang baik mestinya memberikan teladan dalam menyikapi suatu masalah. Pelarangan buku adalah tindakan fatal karena buku perlu dibaca sebagai informasi dan pendidikan. Lekra (saja) Tidak Membakar Buku, kata Muhiddin M. Dahlan. Dalam hal ini, pemimpin memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan teladan agar menyikapi buku dengan tidak membakar buku; dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk mengoreksi sebuah kepemimpinan dan pemimpin suatu zaman, agar roda bangsa berjalan lebih bersih, sebagaimana dicita-citakan era reformasi.

Buku Membongkar Gurita Cikeas kiranya termasuk salah satu koreksi terhadap kepemimpinan SBY periode kedua ini. Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW Febri Diansyah, buku yang ditulis GJA itu menjadi penting sebagai warning terhadap bangsa ini agar jangan sampai apa yang terjadi di zaman Orba kembali terulang di zaman reformasi. Bahkan, Ray Rangkuti, direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia, berharap agar KPU harus menindaklanjuti data-data yang diungkap GJA dalam bukunya itu. Lalu, kenapa buku tersebut dilarang? Siapa yang tiran dan siapa yang sebaliknya? (*)

Imam S. Arizal, staf Riset HumaniusH Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Januari 2010


Mozaik Peradaban dalam Terjemahan

348055

Judul buku: Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia)
Penyunting: Henri Chambert-Loir
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 1.160 halaman

NEGERI ini kerap alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya.

Buku ini merangkum sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.

Pengetahuan negeri seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns, Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T. Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden, dan Vincent J.H. Houben.

***

Nama-nama tersebut memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik, sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19 dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat membumikan modernitas di Jawa.

Peran penerjemah juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ''banyak orang Sunda merasa perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern di sekeliling mereka''. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan modernitas melalui praktik budaya kolonial.

Lakon-lakon penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.

***

Uraian memukau tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi perantara yang genit tapi menentukan.

Kondisi itu berbeda dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter, novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, atau Saman.

Dilihat dari kisah masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras. Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar. Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. (*)

Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009

Timbangan Buku: Kelindan Politik Militer, Islam, dan Negara

-- Ahmad Sahidah*

• Judul buku: Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
• Penulis: Marcus Mietzner
• Penerbit: ISEAS, Singapura
• Cetakan: Pertama, 2009
• Tebal: xvi+426 Halaman
• ISBN: 978-981-230-787-3

KUTIPAN pengantar buku ini boleh dijadikan titik tolak membayangkan seluruh isi buku, yaitu dua pernyataan Amien Rais yang bertolak belakang. Pernyataan pertama menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia adalah memisahkan politik dan tentara, sementara yang kedua malah menganggap kehadiran tentara sangat penting untuk menjaga integritas nasional.

Tentu pernyataan mantan Ketua MPR itu memiliki konteks berbeda, tetapi tak terelakkan, ambiguitas tokoh reformasi ini menghadapi peran militer di dalam ranah sipil acapkali juga dihadapi tokoh lain. Bagaimanapun, dalam masa transisi menuju konsolidasi demokrasi, peranan militer dan hubungannya dengan kekuatan sipil tetap diperhitungkan.

Buku Marcus Mietzner yang berjudul Military Politics, Islam, and the State in Indonesia ini merupakan kajian hubungan sipil-militer pasca-Soeharto yang menekankan pada sebab-sebab dan konsekuensi dari usaha yang sukar untuk mengontrol kekuatan tentara sebagai agenda utama dari reformasi. Tambahan pula, penulis juga memandang penting "sumbangan" Islam politik sebagai salah satu ekspresi kalangan sipil dalam masa transisi. Kiprah yang sama juga bisa ditemukan pada kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan non-Muslim yang berusaha menempatkan dirinya sebagai kekuatan sipil yang menjadi penyeimbang kecenderungan aliran politik teokrasi.

Kontrol demokrasi terhadap kekuatan militer adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan transisi dari kekuasaan tangan besi ke pemerintahan demokratis. Bagaimanapun peranan militer itu sendiri tetap penting untuk mengawal proses ini sembari kaum sipil mengurangi pengaruh militer terhadap pembentukan struktur politik pascaotoritarianisme. Tambahan lagi, kekuatan sipil segera menegakkan mekanisme konstitusional yang menempatkan institusi sipil terpilih bertugas dalam sebuah pemerintahan, termasuk sektor keamanan. Pelajaran dari negara-negara Eropa Timur menunjukkan keberhasilan kontrol terhadap militer oleh otoritas negara yang dipilih secara demokratis dan sah, lebih jauh dari itu adalah peran maksimal kekuatan sipil terhadap militer dan secara fundamental tentang legitimasi, kepemerintahan, dan pertanggungjawaban hubungan militer sipil.

Model Samuel P Huntington, bahwa pembentukan militer profesional merupakan prasyarat untuk menegakkan kontrol demokrasi (hlm 15), turut memengaruhi negara-negara donor terhadap bantuan militer untuk negara-negara yang berada dalam masa transisi. Sebagian besar dana itu diperuntukkan untuk pelatihan militer klasik, dengan harapan ia akan menanamkan tingkat kepentingan yang memadai dalam profesi militer dan pada masa yang sama mengurangi hasrat mereka untuk terlibat dalam politik. Namun, profesionalisme di sini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa militer memperoleh kemampuan yang bisa mendorong untuk terlibat dalam politik.

Seperti telah diketahui, di negara-negara berkembang militer turut terlibat dalam kegiatan politik, yang seharusnya merupakan area sipil. Keterlibatan "pemilik" senjata ini kadang menggunakan jalur demokratik, seperti mengajukan jenderal sebagai kepala daerah, melobi politisi, membentuk opini publik dengan memanfaatkan media, atau terlibat di dalam organisasi masyarakat sipil atau tangki pemikiran (think tank). Namun, celakanya, mereka juga menggunakan pemaksaan dengan menekan lembaga-lembaga negara, memaksa untuk terlibat dalam keanggotaan legislatif dan eksekutif, dan malah mengambil alih pemerintahan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam area lain yang sangat strategis, ekonomi. Namun, pada era reformasi, dwifungsi mereka dipertanyakan dan bahkan digerogoti secara perlahan dengan tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen dan bisnis yang dikelola juga dilucuti.

Namun, masalahnya, kalangan sipil gagal mengambil peluang dalam memuluskan masa transisi. Ketika mereka diberi kepercayaan dengan tampilnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, justru tak lama kemudian pengongsian sipil ini pecah dan jauh dari itu kekuatan politik Islam tercerai-berai. Uniknya, salah satu pihak menggunakan hujah agama untuk mempertahankan pendiriannya, seperti pernyataan salah seorang ulama yang menegaskan bahwa darah ketua DPR dan ketua MPR waktu itu adalah halal sehingga sejalan dengan hukum Islam patut dibunuh. Tak hanya itu, beberapa kiai terkenal bertemu di Sukabumi pada April 2001 dan menetapkan bahwa penentang Gus Dur dianggap bughot, pemberontak terhadap pemerintah yang sah.

Greg Fealy menegaskan bahwa berkait dengan politik, setiap aliran mempunyai perbedaan yang utama mengenai ideologi, kebijakan, dan gaya kepemimpinan dan masing-masing menggunakan aspek pemikiran dan tradisi Islam yang berbeda untuk mengesahkan pendekatan khas mereka terhadap politik. Kebanyakan kontroversi berkait dengan struktur, identitas, dan sumber daya negara (hlm 73). Perselisihan kelompok modernis dan tradisionalis yang sebenarnya telah dimanfaatkan oleh tentara untuk menjadi penengah dan mengambil keuntungan dari situasi ini terulang pada masa pasca-Soeharto.

Organisasi kemasyarakatan

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang mewakili suara Muslim yang diberikan tempat khusus oleh penulis buku ini. NU dianggap pemain penting dalam menentukan nasib Soeharto pada waktu kritis ekonomi dan politik. Organisasi tradisionalis ini pada masa lalu juga membantu melestarikan dan melanggengkan rezim otoriter dan juga menunjukkan faktor penentu, pada tahun 1965, perubahan rezim ketika menarik dukungannya pada pemerintah yang berkuasa. Pada era Orde Baru, diwakili oleh Gus Dur, NU memilih bermesraan dengan Soeharto dengan tiga pertimbangan utama, yaitu strategi politik, ambisi pribadi, dan kepentingan sosial ekonomi kaum Nahdliyin. Namun, hubungan ormas berlambang bumi ini tidak selalu sejalan dengan jenderal bintang lima itu.

Hal yang sama juga berlaku dengan Muhammadiyah. Melalui sepak terjang Amien Rais, organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mengalami fluktuasi hubungan dengan Soeharto (hlm 156) dan pada waktu yang sama dengan militer. Ketika Soeharto berada di ujung tanduk, orang kepercayaannya, Wiranto, berusaha untuk meyakinkan masyarakat untuk tenang dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Sementara itu, koleganya, Agum Gumelar, mencoba membangun komunikasi dengan tokoh reformasi tersebut untuk membuka dialog dengan para "pembangkang". Namun, upaya ini pun gagal, Sang Raja tumbang.

Kejatuhan Soeharto menyebabkan Indonesia terpuruk pada ketidakpastian yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, tantangan keamanan, fragmentasi sosial, dan pengalaman yang luas terhadap perubahan institusi baru. Tentu, partai politik "Islam" menjadi pemain penting dalam masa transisi menuju konsolidasi. Pergeseran orientasi politik mereka yang tidak lagi terbelenggu dengan gagasan negara Islam telah mendorong langkah moderat. Apatah lagi, amandemen Undang-Undang Dasar tahun 2002 telah mengubur impian seperti ini. Koalisi dengan partai sekuler nasionalis telah mengantarkan banyak wakilnya menduduki kursi eksekutif sehingga rakyat tidak tersandera oleh kepentingan sempit perjuangan ideologi.

Benar kata Nasir Jamil, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, yang menegaskan bahwa ideologi partai adalah penting sejauh untuk kekompakan internal partai; tetapi ketika membangun koalisi, kebutuhan praktis masyarakat Indonesia mendapatkan keutamaan (hlm 344). Sikap yang sama sebelumnya juga telah dilakukan oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang tidak lagi memperjuangkan negara Islam dalam manifesto politik. Bersama partai sekuler lain, Partai Aksi Demokrasi dan Partai Keadilan Rakyat, malah mendukung program negara kesejahteraan atau dalam bahasa mereka, negara kebajikan. Tak hanya itu, partai berlambang bulan ini mendirikan sayap yang beranggotakan non-Muslim dan menggelorakan slogan "PAS for All".

Strategi di atas telah memungkinkan partai Islam untuk bekerja sama dengan nasionalis sekuler dan membuka ruang bagi kekuatan sipil untuk memerintah. Malah, menurut penulis, koalisi antarpartai Islam jarang berlaku, hanya 37 persen, itu pun tak semuanya memenangkan pemilihan kepala daerah. Pada waktu yang sama, kerja sama ini telah mempersempit peluang politisi militer untuk menduduki kepemimpinan publik.

Dari uraian tersebut, boleh dikatakan bahwa transisi ke konsolidasi demokrasi relatif berhasil dan jauh dari itu, ideologi politik tidak lagi menghalangi para pegiat partai untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Bukankah yang terakhir inilah yang menjadi tujuan demokrasi?

* Ahmad Sahidah, Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia

Sumber: Kompas, Senin, 21 Desember 2009