Jumat, April 23, 2010

DAMAI - Akhir Perseteruan Polisi-TVOne

Bila membaca media, dan kalau tak salah tafsir, inilah kira-kira kesimpulan hasil mediasi antara Polri dan Tv One:



1. Andris Ronaldi bukan markus palsu, tapi markus kelas teri. Kalau menurut anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, Andris ini kelasnya cuma calo STNK. Seperti mewawancarai seorang perawat untuk topik yang mestinya menghadirkan dokter ahli, kata BHM. Atau menurut istilah karangan saya, Tv One telah mempraktikkan "jurnalisme Mak Erot". Barang kecil dibesar-besarkan. Pokoknya terdepan menggemparkan.



2. Pengakuan Andris bahwa dirinya diminta menghafal skenario tanya-jawab sebelum wawancara (agar mengaku sebagai markus Mabes Polri), adalah tudingan bodong, alias dusta. Termasuk pengakuannya bahwa sebenarnya ia dihubungi sebagai narasumber topik TKI, dan bukan markus, juga bohong. Inilah yang membuat Tv One berang dan menyatakan akan menggugat balik Andris. Tapi menurut Karni Ilyas, seperti dikutip BHM, Tv One tidak akan menggugat balik.



Mengapa mendapat fitnah seserius itu Tv One legowo saja dan tak menggugat balik? Padahal sebelumnya sudah keras ingin memperkarakan bekas narasumbernya itu.



3. Tv One tak perlu minta maaf pada Polri karena sudah melakukannya dalam jumpa pers tempo hari (9 April). Ini bagian yang selalu membingungkan. Permintaan maaf 9 April itu permintaan maaf atas apa? (1) Karena menggunakan sumber palsu? (padahal Tv One yakin bukan), (2) Karena membuat Polri tidak enak hati? (ini wartawan atau ajudan jenderal).



Nah, setelah terpapar bahwa Andris bukan narasumber hasil rekayasa, tapi (hanya) kelas teri, di mana lagi meletakkan konteks permintaan maaf kepada Polri itu? Apakah itu permintaan maaf karena telah menggunakan "jurnalisme Mak Erot"? Lalu mengapa saat 9 April tidak diakui saja bahwa Andris memang sumber kelas "calo STNK"?



Bagaimana pula dengan nasib jutaan penonton yang sudah kadung berdecak kagum dengan kehebatan Tv One mendapat narasumber "markus Mabes Polri"?



Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dengan semua isi wawancara Andris? Benarkah ada ruangan di samping ruang Kapolri untuk urusan permarkusan dll yang sudah diumbar Andris? Harus meralatnya atau bagaimana? Jadi di Mabes Polri ada markus atau tidak? Atau cuma ada calo STNK?



Hal-hal lain yang juga belum terjawab adalah:



1. Bagaimana Dewan Pers melihat tindakan Polri yang menyadap pembicaraan antara Indy dan narasumber anonimnya (kesampingkan dulu bahwa ia Andris "si mulut besar"), dan menjadikannya sebagai bahan aduan ke Dewan Pers? Apakah ini baik-baik saja dan tak takut jadi preseden? Bagaimana kalau yang menyadap bukan polisi, tapi instansi atau perusahaan yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media? Bolehkah individu atau sebuah organisasi yang merasa difitnah oleh pemberitaan sebuah media, lalu membuntuti, mengejar, dan menyadap komunikasi antara wartawan dan narasumbernya, dan membawa material tersebut sebagai bahan aduan ke Dewan Pers, dan lalu diterima?



2. Mengapa Polri hanya memperkarakan Andris dan tidak turut menggugat Tv One (tentu secara perdata), sebagai media yang "turut serta" menyebarluaskan fitnah? Padahal Tv One sangat jelas terlihat tidak prudent dalam memilih narasumber untuk konteks ini.



3. Bagaimana pula dengan isi SMS/BBM Indy Rahmawati yang mengaku kepada Andris dirinya ditekan oleh bos di kantor Pulogadung untuk membuka jatidiri sumber anonimnya? Tekanan membuka sumber anonim bukan dalam rangka verifikasi, tetapi untuk melayani permintaan pihak lain (patut diduga melayani polisi). Bagaimana Dewan Pers melihat ini? Adakah "fatwa" khusus mengenai ini, atau dianggap selesai begitu saja.



Akhirul kalam, inilah 86 antara Polri dan Tv One yang difasilitasi Dewan Pers (?). Dan kita semua nyaris tak mendapat pelajaran apa-apa selain tentang "jurnalisme Mak Erot".... (*)



ta(b)ik,



dandhy



NB: kalau nilai catatan ini terdelegitimasi hanya karena saya tidak nyalon jadi anggota KPI (dan memilih jadi tukang shooting keliling), ya saya telan saja risiko itu....

Tidak ada komentar: