Kamis, November 27, 2008

Tentang Jakarta Bag.XXX_JAKARTA KOTA-MANGGARAI_Dahsyat!!!

Sabtu, 22 November 2008 Keliling Jakarta Lagi
Hari itu kelas cuma satu, yaitu Business Communication_Komunikasi Bisnis. Jam setengah Sebelas sampai jam satu. Jam satu aku langsung keluar kelas, shalat dzuhur terus langsung kabur ke perpusda nyi Ageng Serang lantai 7. Woizztttt. waktu mengejarku. tidak!!! aku yang memburu waktu. lima langkah lagi sampai di depan Lift ... tiba2 eiiiiiiittttt! druk! Bugkkckk!!! ada poster aneh di pintu masuk. mata menoleh!!!
PAMERAN KOTA TUA JAKARTA, SABTU 22 NOVEMBER PEMBUKAAN PUKUL 15.00 WIB, Di Jl. Fatahillah Utara, JAKARTA KOTA
Wadduh!! mesti ikut neh! menarik neh! "Jakarta memang selalu menarik Bung!" ada yang berkata. namun aku tak melihat sesiapa saat itu. tapi memang benar!!! Jakarta tak pernah membosankan. selalu penuh pesona. penuh warna. setelah sampai di lantai 7, aku menemukan sepasang muda-mudi sedang asik bercanda. membicarakan masa depan. sedang dilanda cinta. Samson dan Delilah. Fahri dan Aisyah. Teman kampus. Si Fahri teman kosan juga. seperti biasa, tersenyum dan menyapa. lalu mulut spontan mengajak mereka ke KOTA TUA. tapi pinta di tolak. sudah ku duga. mereka terlalu asyik membicarakan cinta.
Tiba2 ... penyakit kambuh lagi. Di rumah tak ada sesiapa. PR kampuz lagi gak ada. Duit masih punya. Semangat jangan ditanya. Kaki bahkan seperti ada tiga. Tiba2 aku jadi pengen lagi menikmati kota Jakarta dari dekat. Entah yang ke berapa kalinya dalam 5 bulan ini. Pertama kali berdua dengan si Aca. Terus bareng anak2 BSM, terus bareng ank2 Laskar Penyanyi. Tapi paling sering sendirian. Malem2 pula! Aneh...
Tekad sudah bulat. Sehabis membaca sebuah NOvel Halequin, Shalat Ashar, kemudian turun ke Basement. Keluar lewat parkir Bawah Tanah Pasar Festival. Lalu bergegas masuk kampus. Seolah tak terjadi apa-apa. Dan memang tak ada apa-apa. Melewati Labkom dan Perpus yang sudah tutup. Kampus masih cukup ramai. Student Longe apa lag! Aku keluar kampus lewat loby belakang, menuju Halte GOR Soemantri yang diam menjadi saksi bisu lalu-lalang manusia setiap hari di dekatnya. JAKARTA-KOTA ... Tidak! JAKARTA Kembali menanti dalam imajiku.
Beberapa menit kemudian, tubuh sudah duduk di dalam Busway. Tadi aku sempat menyapa teman kampus yang juga berada dalam satu bus. Krisna. Anak bandung. Tak tahu dia akan kemana. Tak ku tanya. Ku tak mau tanya. Karet Kuningan. Kuningan Madya. Setia Budi Utara. LatuharHary. Lalu Halimun. Masih sempat terlihat air kali Ciliwung yang mengalir dan semburatnya menggeliat bagai emas disinari matahari senja. Banyak sekali penumpang sore itu. Aku memilih turun di Dukuh Atas. Aku mengincar tempat duduk.
Jam 3.50 pM (aku mencatatnya di HP) sampai di Dukuh Atas 2. Antrian koridor 4 Pulo Gadung-Dukuh Atas sangat padat. Entah kapan halte ini bisa sepi yah???
Bus datang dengan perkasa. Semua penumpang berebutan naik. Lalu bus melaju menyusuri ruas jalan lebar daerah Halimun, Pasar Rumput, lalu Manggarai dan akhirnya sampai di Matraman. Lalu transit naik koridor 5 mneuju Senen. Dari Senen, transit lagi naik koridor 2 arah Pulo Gadung. Aku belum pernah ke arah ini sebelumnya. Melewati Cempaka Mas, Cempaka Putih dan Cempaka yang lainnya.
Namun satu hal yang paling penting adalah ... ada 2 ekor waria, wandu, wadam, alias banci yang juga naik koridor 2 ke Pulo Gadung. Tadi kedua waria itu terlibat perang mulut dengan penjaga Halte yang menyuruh mereka untuk antri. Namun dengan sombongnya si "Nyonya" (begitulah si banci yang memakai teng-yop menyebut namanya) malah marah2 dan memaki2 si Penjaga halte bahkan hingga ketika Busway sudah melaju mengejar angin. Sungguh menjijikkan tingkahnya!!! Salah satu potret kehidupan ibu kota yang lain, adalah kedua waria itu.
Sampai di ITC-Cempaka Mas, aku turun dan berbelok arah menuju daerah Senen lagi, karena memang tujuanku adalah daerah Kota Tua Jakarta. Selain itu, mungkin karena mata sudah perih, dan telinga sudah terlalu sakit mendengar ocehan gak karuan dari si Waria yang masih saja memaki-maki sang penjaga Halte tadi.
Lalu halte berikutnya yang menjadi tempat transitku adalah Halte Harmoni. Tempat transit terluas dan tak kalah padatnya dengan Dukuh Atas. Aku menuju pintu tengah sebelah kiri. Arah Kota. Setengah jam kemudian aku sampai di STASIUN JAKARTA KOTA. Stasiun tua yang amat bersejarah itu teramat anggun diterpa mata hari sore dan di selimuti debu dan hiruk-pikuk pengunjung yang lalu-lalang.
Niatku tiba-tiba berubah, tak lagi mau menikmati pameran Kota Tua. Aku langsung menuju loket kereta api. Aku memilih jurusan Manggarai, Rp.1000. Kereta ekonomi Jadebotabek saat otu sudah sangat penuh dan siap berangkat. Aku berlari mengejar gerbong paling belakang dan masuk menyusup ke dalam desakan dan himpitan manusia. Gerah bukan main. Namun itu terobati dengan pemandangan Landscape Kota Jakarta yang nampak dari pintu Kereta. AMAZING!!!! Monas bergerak pelan lalu cepat ketika kereta melalui Stasiun Central Gambir yang berwarna Hijau Muda. Indah Bukan Main.
Gondangdia, Cikini, lalau akhirnya aku pun sampai di Stasiun Kereta Api Manggarai. Stasiun yang paling angker bagi warga Jakarta Selatan. Dari Stasiun Manggarai, aku berjalan kakai ke Rumah Kontrakanku yang berjarak sekitar setengah kilo meter. Dan adzan magrib menjadi saksi Short Trip yang aku lakukan kali ini. What a Beautiful Jakarta!!!

Kamis, November 20, 2008

Tentang Jakarta Bag.3_Indonesia Book Fair 2008

Sabtu, 15 November 2008_Sadam ke Indonesia Book Fair Jakarta Convention Center (JCC)
Di sini ada jalan menuju dunia kampus : http://www.campuzsadam.blogspot.com/
di sini juga ada, Lorong menuju dunia Puitisasi : http://www.kumpulanpuisisadam.blogspot.com/
Jangan menyepelehkan hal sekecil apa pun. Karena segala yang besar, sebelumnya hanyalah tumpukan benda-benda kecil.
Kaki melangkah berat menuju halte GOR-SOEMANTRI Pasar Festival, yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari halaman kampus. Sudah pukul 2.12 siang. Dua novel pinjaman dari Perpusda Nyi Ageng Serang, Cermin Merah dan Labirin Malam (Metro Pop, karya N.Riantiarno) melekat erat di kedua tangan. Kali ini tanpa sapu tangan biru yang biasanya selalu kubawa. Cukup sepi manusia yang mengantri di halte. Paling tidak untuk sementara waktu. Si bus Raksasa pun muncul di depan diri, dengan membawa angin penuh debu. Menggeser pintu kaca otomatis yang kini menganga membuka jalan bagi kaki yang sudah cukup letih menanti.
Dalam sekejap, gedung-gedung pencakar langit di kawasan Kuningan, melesat bagai angin, seiring hawa dingin dari dalam Busway yang mulai merayap memasuki ubun-ubun. Menjalar hingga ke kaki terbawah, menusuk sumsum, namun darah masih hangat, Tubuh tak bergetar. Bahkan mata tak bergeming. Bagaimana bisa. Pemandangan di Luar masih teramat indah untuk dilewatkan. Meski untuk sekejap. Padahal aku sudah cukup lama dan akur dengan pemandangan ini. Namun seakan tak pernah ada rasa bosan menikmatinya. Itulah Jakarta yang lagi kurasakan saat itu.
Beberapa menit berlalu dalam kebekuan mata. Tanpa terasa, aku sudah berada di depan Menara Imperium, Setia Budi Utara. Halte Menara Duta tampak di depanku. Mengingatkan pada setting film "Muka Pengen-Mupeng" yang berlatarkan halte tersebut. Lalu mesin membawa bus seakan terbang, mendaki fly over menuju halte Taman Lawang alias LatuharHary perbatasan dengan daerah Menteng. Lagi-lagi mengingatkanku pada setting film yang tadi. Karena memang daerah ini juga masuk dalam satu adegan kocak di film komedi nakal itu. Halte Halimun menunggu di seberang kali Ciliwung yang mengalir memisahkan Manggarai dengan Menteng.
Aku menutup mata, mencoba mencari pemandangan lain dalam jiwa yang lelah. Kendaraan lalu-lalang tanpa henti dan suara bising mesin busway membuatku tak bisa berlama-lama memejamkan mata. Terlebih setelah berhenti di Halte Halimun, penumpang bus justru semakin bertambah banyak. Semakin rapat. Semakin pengap. Walau pun dingin. Aneh!
Tikungan terkahir menghentikan bus di Halte Transit Terpanjang, Terminal Dukuh Atas 2. Aku keluar bus dengan nafas memburu. Bagaimana tidak. Sudah pukul 2.25 pM. Sebentar lagi, sudah harus Ashar. Sementara itu, ketika aku mulai mendaki di Sky Walk, bayangan Halte Dukuh Atas 1 yang penuh dengan antrian penumpang mulai nampak di mataku. Antrian panjang tidak hanya ke satu arah. Blok M-Kota, sama-sama dipenuhi antrian penumpang.
Aku menuju antrian arah Blok M. Sangat penuh dengan penumpang. Dapat kubayangkan betapa banyaknya manusia yang kini telah berlalu-lalang di dalam JCC. Plenary Hall, Main Loby, Assembly Hall, atau yang mana pun. Pasti sudah dipenuhi dengan pengunjung. Bahkan aku yakin, tak hanya warga Ibu kota yang datang. Warga luar Jakarta pasti banyak yang berdatangan di Event besar itu. Tunggu!!! Bukankah aku juga bukan dari Jakarta??? Tidak. Untuk kasus ini aku sudah termasuk warga ibu kota.
Tapi itu bukanlah persoalan. Yang menjadi masalah kali ini, adalah ketika aku sudah sampai di Halte Polda Metro Jaya. Aku lalu berlari sekuat tenaga. Memburu waktu untuk sampai ke garis finish. Namun aku kalah oleh waktu. Ya waktu selalu meraja. Aku bahkan tak tahu arah. JCC. Di manakah existensimu? Di manakah kau berpijak?
Namun akhirnya alam memberi tahuku. Semut-semut merah menuntun jalanku. Angin seakan hendak membawaku terbang melayang menuju tempat yang ku pikirkan saat ini. Banyak manusia lain juga bergerak cepat ke arah yang sepertinya sama dengan langkah kakiku. Sepertinya arahnya ke sana. Batinku sendiri. Lalu kaki seolah ingin terus melangkah tanpa henti. Menyusuri jalanan dengan aspal halus yang kian menghangat, seiring surya yang mulai menapaki kaki langit di ufuk barat. Sudah Ashar. Tepat! Kini aku berada di halaman parkir Balai Sidang Jakarta International Convention Center.
Hiruk-pikuk pengunjung yang berdatangan membuat kepalaku jadi pusing. Namun keinginan kuat untuk menyaksikan bagaimanakah bentuk pameran buku itu?? Tunggu Lagi!!! Aku lupa, sebenarnya, tujuan utama aku datang adalah untuk membeli Flash Disc 2GB seharga Rp. 25.000 yang katanya di jual dalam pameran ini. Karena pameran ini terdiri dari 3 Stand, yaitu, Book Fair atau Pameran Buku, Indo.Comp. yakni pameran berbasis IT, dan Indonesia Game Show.
Aku mencari-cari. Masih mencari dia. Di manakah gerangan si Rumah Tuhan. Nihil!!! Aku tak menemukan satu pun Masjid di sekitar JCC. Bahkan Mushalla di luar hanya satu itu pun kecil dan satu bangunan dengan kantor Pos-Polisi. Satu lagi potret buram Ibu kota. Pembangunan gedung bertingkat sangat memadai. Namun pembangunan rumah-rumah ibadah, sangatlah minim. Seakan mereka melupakan Tuhan. Seakan mereka melupakan mati. Seakan mereka tak akan mati. Atau mungkin mereka tak ingat mati? Atau tak ingin? atau mereka tak ingat karena mereka tak ingin mati??? Entahlah ...
Kaki memutuskan untuk mengantri di depan loket Indo.Comp. Ekshibisi barang-barang berbau IT yang terbesar di Indonesia. Harga tiketnya Rp. 5000. Murah!!! Aku bahagia. Ternyata Ibu kota tidak selalu menampakkan kekerasan. Kadang ia memang sangat bersahabat. Berada di antrian terakhir ternyata cukup melelahkan juga. Beberapa menit kemudian, kaki sudah berada di dalam gedung dan yang pertama membuat bibir tersenyum adalah ...
Ada Christian Sugiyono!!!
Lebay!!! Dia menjadi bintang tamu di Stand milik Komputer Hp. MC Yang mengajaknya berdialog adalah cowok klimis dan terkesan feminim dengan dandanannya yang casual. Tapi itu tidak penting. Bahkan sangat tidak penting!!! Yang penting adalah kaki ini harus segera menemukan mushalla terlebih dahulu. Lalu ruangan tempat Acer berada kini muncul di mataku. Lalu Zahir Accounting Software, V-gen, Toshiba, entah apa lagi namanya. Jumlahnya masih kalah banyak dengan jumlah manusia yang mengerumuninya. Benar-benar lautan manusia. Bahkan dadaku hampir sesak bernafas. Sungguh banyak. Sangat banyak. Tidak. Terlalu banyak!!!
Setelah mata nihil menemukan mushalla, kaki bergerak ke arah yang berlawanan dengan mataku yang masih terpaku dengan si Artis yang masih bertengger di atas panggung. Aku memasuki kawasan perbatasan area Indo.Comp. dengan Book Fair. Cap!!! Stempel merah melayang di punggung tangan kananku. Pertanda aku telah keluar dari area Computer. Sekarang aku berada di zone kekuasaan buku. Aku menoleh ke Bawah dan menemukan apa yang ku cari. Mushalla sudah dipadati umat. Namun tak sepadat yang kusaksikan sebelumnya di wilayah barang elektronik. Aku berlari turun. Menunaikan kewajiban. Shalat dengan khusuk.
Sehabis salam dan merapikan diri, kaki kembali bergerak cepat, menyusuri tangga seperti dari Pualam yang menghubungkan basement dengan Main Loby tempat Book Fair bergema. Ada stand milik harian Kompas, Erlangga, Buku bekas Import, wah!!! Ada juga stand khusus koleksi buku dan gambar dari Iran. Menakjubkan! Lalu semakin ke dalam, mata semakin menemukan kepadatan. Kebisingan yang sangat. Lautan manusia tak kalah banyak dengan yang ada di negara bagian Komputer tadi. Suatu bentuk kesetaraan yang cukup adil. Para penikmat IT setara dengan Kutu Buku.
Aku bergerak ke sebuah sumber suara yang sepertinya mengabarkan suatu berita yang hangat di telingaku. Ada Talk Show dengan seorang penulis terkenal bernama Tere-Liye. Dia pengarang salah satu Novel Best-Seller "Bidadari2 Surga" dan "Hafalan Shalat Delisha". Aku jadi panas! Ingin bertemu dengan orang yang sudah berpengalaman dengan bidang yang tengah aku tekuni saat ini. Penulis Hebat! Harus ketemu! Pasti ketemu!
Alhasil, pencarian yang tidak sia-sia. Aku menemukan panggung utama Book Fair. Sudah banyak pengunjung yang datang. Aku tak dapat tempat duduk. Aku berdiri. Lagi-lagi berdiri. Selalu saja berdiri!!!
Lalu hadirlah dia sang penulis ... Tere Liye

Minggu, November 09, 2008

Sadam Ikut Lomba Menulis Cerpen_ Jakarta International Literary Festival 2008

Pelangi di Senja Jakarta
Oleh : Muh. Sadam
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Namaku Adam. Warna favoritku hitam, karena hitam itu … berwibawa. Elegan, dan dewasa. Hari ini aku genap delapan belas tahun. Tak ada lagi pesta atau perayaan seperti dulu. Karena usia tak lagi penting bagiku. Kini aku sudah bebas. Tak lagi diperbudak oleh waktu. Namun aku kalah dalam kebebasan itu. Aku sudah divonis, leukimia. Tak ada donor sumsum yang cocok untukku. Kata dokter, aku tak punya harapan lagi untuk sembuh. Tinggal menunggu waktu. Sedetik lagi, semenit, sehari atau seminggu lagi kah? Ternyata, aku masih saja diperbudak oleh waktu. Itulah takdir. Kita tak bisa berpaling darinya. Bahkan sedetik pun!
Tetapi, aku masih beruntung, karena memiliki enam malaikat yang menjelma menjadi sosok yang aku sebut sahabat. Rama, Ari, Dudul, Nino, Duta, dan Adi. Kami sudah berteman sejak SMP, SMA, hingga sekarang saat status Mahasiswa melekat di balik almamater kami. Kami hanyalah sekelompok anak muda, yang telah digariskan untuk lahir, tumbuh dan berkembang, serta belajar mengenal dunia di kota ini. Jakarta. Kota segala pesona. Budaya, life style, modernisasi, kosmopolitan, megapolitan, atau apalah istilahnya, tetap tak mampu menggambarkan keindahan dan keanggunan yang membalut keangkuhan gedung-gedungnya, yang seolah hendak mencabik kaki langit. Ibu kota benar-benar mengajari agar kami mensyukuri hidup. Bahkan hingga detik terakhir pun, kita harus mensyukurinya. Itulah hidup.
Hari ini, keenam sahabatku itu, mengajakku keliling Jakarta. Awalnya memang aku yang meminta, namun ku batalkan karena takut mengganggu kesibukan mereka. Mereka malah balik memaksaku untuk mengikuti ajakan mereka. Menikmati ruas jalan Jakarta, melihat tingginya peradaban manusia.
Aku tak kuasa menolak, terlebih lagi, aku memang belum pernah menikmati keindahan kota ini lebih dekat. Selama ini, aku terlalu sibuk dalam kesibukan lain, terlalu larut dalam kesedihan, dan teramat surut kehilangan asa karena sadar akan waktu hidupku yang tinggal sebentar. Sampai-sampai aku melupakan Jakarta. Kota paling indah, pintu masuk segala dimensi kehidupan global, yang kemudian terdistribusi ke daerah lain di bumi nusantara. Kota sejarah yang kaya akan peradaban masa lampau. Saksi bisu perjuangan bangsa. Kota yang sarat akan eksotika panorama dan budaya. Modernisasi tak mengikis, justru mempertebal ketahanan budaya khas tradisionalnya. Nasionalisme yang luhur.
Kami berangkat dengan avanza hitam milik Nino. Ia memakai kaos merah. Warna favoritnya. Ia menyetir mobilnya dengan mulus. “Sory ya No, udah bikin lo semua repot.” Aku membuka dialog. Masih belum ada jawaban. Tiba-tiba Nino tertawa. “Hahahaha … Lo biasa aja dong Dam. Kayak kita orang lain aja ah.” “Memang kalian akan jadi orang lain buatku. Asing. Paling tidak, tak lama lagi.” Batinku dalam hati. Mereka terlalu baik. Disaat seperti ini, masih saja mereka menunjukan dedikasi persahabatan mereka. Aku beruntung mengenal mereka.
Jalanan ibu kota seakan bersahabat. Kami bebas dari kemacetan yang biasanya menutup ruas jalan segitiga bisnis Jakarta, Kuningan-Sudirman-Thamrin. Terang saja, hari ini minggu. Kawasan ini cukup sepi dan bebas macet apa lagi di minggu pagi seperti ini. Padahal di hari lain, kawasan ini menjadi kawasan termacet mengingat perannya yang menjadi pusat kegiatan bisnis di Jakarta. Puluhan ribu kendaraan melewatinya setiap hari. Kawasan ini yang menjadikan Jakarta juga masuk ke dalam
Lima Puluh kota paling berpengaruh di Dunia.
Dari Kuningan, kami melesat menuju arah Kota Tua Jakarta. Situs yang menyimpan sejuta cerita Ibu Kota. Mulai dari era Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, hingga Jepang menguasai negeri ini. Kami berhenti di sebuah gedung megah, berwarna putih, atapnya jingga, dan arsitekturnya bergaya Yunani klasik bercampur Renaisans, serta diperindah dengan design islami seperti menara masjid, di bagian tengahnya. Seperti keenam sahabatku yang membisu, Museum Fatahillah, berdiri diam di hadapan kami. Seolah ingin bercerita tentang yang telah disaksikannya selama bertahun-tahun. Tentang Jakarta yang dulu terinjak dan kini bangkit melawan. Tentang Bangsa yang tertindas, dan tentang Ibu pertiwi yang meratap namun kini tersenyum. Tentang sahabat yang masih dan akan selalu membuatku tersenyum.
Ini kali pertama aku ke tempat ini. Aku mengabadikan banyak gambar diri bersama sahabat-sahabatku. Semoga ini bukan yang terakhir harapku. Meriam Portugis, Meriam Si Jagur yang sakral, Prasasti Kebon Kopi, Sunda Kelapa, Batavia, dan segala yang mengingatkanku akan masa lalu bangsa ini, tertata rapi di museum ini. Benar-benar situs yang mengagumkan. Aku menyesal baru pertama kali ke sini. Entah sudah berapa buku yang bisa aku tulis dari berbagai sumber sejarah yang ada di museum ini. Aku seolah ingin kembali ke masa lalu. Seolah ingin merasakan derita Ibu pertiwi. Ingin merasakan pilunya Jakarta yang saat itu lemah terbantai.
Rama, Ari, dan Dudul berdiri di depan dua patung ondel-ondel khas Jakarta di lantai bawah museum. Mereka bertiga berpose seperti si ondel-ondel. Sementara Adi dan Duta memperagakan transaksi jual beli di depan replika warung jualan khas betawi. Nino asik mencipratkan cahaya kamera ke arah mereka. Aku tak dapat menahan tawa melihat gaya mereka yang lepas. Aku tertawa jauh lebih lepas. Tak perduli orang di sekitar. Yang aku tahu, aku sangat bahagia.
Setengah jam kemudian, kami sudah berada di daerah Gunung Sahari, Mangga Dua. Setelah melewati Fly over, akhirnya tulisan “Terminal Trans-Jakarta Ancol” muncul di mataku. Aku sudah sering ke Ancol sebelumnya. Namun kali ini lain. Ada yang berubah. Waktu. Tak kan lagi sama. “Sepertinya akan hujan cuy.” Kataku kepada keenam sahabatku. Tak ada yang menjawab. Mungkin mereka bingung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Aku menatap langit biru lazuardi. Seakan air akan jatuh ke bumi. Tapi bukan dari langit. Dari mataku.
Seperti biasa, Ancol dipadati pengunjung pagi itu. Pengunjung dari berbagai daerah datang untuk menikmati suasana pantai yang menyejukkan hati. Memang pilihan yang tepat memilih Ancol sebagai tempat untuk memanjakan mata di Jakarta. Apa lagi setelah seminggu melakukan aktivitas yang melelahkan. Jakarta siap menyajikan Ancol sebagai pesona alam pantainya.
Kami berjalan menyisir ombak yang berkejar-kejaran di tepi pantai. Rasa dingin menusuk kakiku, menjalar hingga ke sumsum. Angin laut menerpa wajahku. Serasa dilempari sebongkah batu es. Perih dan benar-benar dingin. Tubuhku langsung menggigil. Duta yang memakai jaket orange ala Jak-Mania langsung memberikan jaketnya padaku.
Hal itu memancing yang lain untuk mengeluarkan kejahilannya, bersiul-siul nakal, bahkan mengabadikannya dalam gambar, sehingga kami nampak seolah sangat mesra layaknya dua pasang kekasih. Membuat kami semua tertawa. Bebas. Lepas. Hingga akhirnya air laut menjadi senjata. Kami saling mencipratkan air laut ke arah yang lain. Semua tertawa bahagia. Benar-benar bahagia. Tak pernah lebih baik dari hari ini.
Aku berlari mendahului mereka semua. Rasa dingin yang tadi menusuk, kini hilang dalam sekejap. Aku sudah jauh di depan. Kini sampai di sebuah delta batuan yang lumayan panjang. Sekitar sepuluh meter. Sekarang sudah sampai di ujung, seolah aku sedang berada di tengah laut, menantang samudera dan …
Hoooiiiiiiiiiiii … Hoooooooiiii!!!
Mataku terpejam. Kedua tanganku terangkat ke atas seperti orang berdoa. Keduanya sama-sama dikepal. Erat. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Tak ada yang mendengar bahkan tak peduli sekalipun ada yang mendengarku. Yang pasti aku telah mengeluarkan semua beban, sedih, marah, kecewa, bahagia, duka, lara, kesendirian dalam penantian ajal yang tak kunjung datang. Rasa rindu pada masa lalu yang telah pergi begitu saja tanpa suatu hal berarti yang kuperbuat. Kecewa pada masa kini yang terasa begitu singkat, dan rasa sedih, pedih dan perih mengingat masa depan yang tak mungkin lagi menyambutku.
Hoooooooiiiiiiiiiiiiiiiii …!
Semuanya telah keluar, lewat jeritan hati yang memilukan. Jerit yang sejadi-jadinya. Mencoba menyesali hidup. Meratapi nasib yang sudah tergaris. Hanya bisa menangis dan terus berurai air mata.
Keenam sahabatku berlari mendekatiku kemudian segera membopongku ke daratan. Aku tertegun dan duduk memeluk kedua kakiku. Rama merangkul bahuku. Yang lain, waspada mengawasiku. “Gue sayang banget sama kalian. Gue belom siap pisah sama kalian cuy! Hiks … hiks …!” Aku terisak seperti anak kecil yang mengadu kepada ibunya.
Rama semakin merangkulku erat. Lidahnya kelu. Tak sanggup berkata. Bahkan bersuara. Nino memandang langit yang mulai menghitam. Duta, yang jaketnya basah di tubuhku, diam membatu menantang laut. Ari dan Dudul yang paling riang dan berisik, kini diam seribu bahasa.
Adi menjatuhkan tubuhnya di tanah. Baju kuning favoritnya pun basah. “Kita jauh lebih sayang lo Dam! Lo mesti ingat itu Dam! Satu lagi, gue gak pernah percaya Dokter dam! Gue lebih percaya mimpi Dam! Lo bakal sembuh.”
Tak menyangka Adi akan berkata seperti itu. Si Kuning yang nyentrik ini, ternyata masih bisa memberi suatu motivasi di saat-saat terkahir. Walau apa yang dikatakannya tidak realistis, paling tidak, aku bisa sedikit bahagia mendengarnya.
“Bener Dam. Kita tuh sayang banget sama lo. Lo nggak perlu ragu akan itu.” Ari menimpali sembari memasangkan sebuah gelang hijau limau di tangan kananku. Aku tahu, itu adalah gelang pemberian kakeknya, yang ia sebut gelang kemenangan.
“Thanks ya Ri. Tapi gue mau, suatu hari nanti lo bakal make ini lagi. Ini kan benda paling berharga buat lo kan?” aku menggengam tangannya erat. Ia mengangguk tersenyum. Keceriaan kembali tersungging di wajahnya yang tirus putih. Hatinya kembali ramai. Seramai pengunjung pantai yang terus saja berdatangan.
“Guys! Gue boleh ngomong something nggak?” Aku bergeser lebih ke depan. Kini aku duduk di atas gundukan tanah dengan kaki terjulur ke permukaan air. Rasa dingin kembali menusuk kaki, namun tak lagi pedih dan perih. Ada enam penawarnya di dekatku.
“Emang lo bisa ngomong? Sejak kapan si unyil bisa ngomong?” Dudul memberi lelucon jayus. Kami hanya tersenyum. Tidak. Ari bahkan tertawa. Seperti orang gila. Dalam hatiku, bahkan aku lebih tertawa lagi.
“Gue cuman mau … lo semua jangan berubah cuy. Sedikitpun.” Sejenak ku terdiam. Menunggu jika ada reaksi. Namun diam. Tak ada jawaban. Mereka serius memperhatikan. Menatapku. Tajam.
“No!” Nino seperti terkena setrum. Ia sedikit kaget. “Gue mau … lo tetep suka merah. Itu cocok buat kulit lo yang putih. Lo mesti menjadi bapak yang bijak nanti. Anak lo jangan ada yang bernama Nina. Kan gak lucu kalo ada El Nino dan La Nina dalam satu rumah. Keluarga badai dong.”
Nino tersenyum. Lebar sekali. Lalu suaranya lepas. Ia tertawa. Terbahak-bahak. Benar-benar lepas. Tak pernah seperti itu sebelumnya.
“Gue mau. Lo semua tetep seperti warna lo masing-masing. Duta tetep orange ala Jak-Mania. Adi … tuh kuning nggak usah dicat hijau yah. Biarin hijau itu tetep milik si Ari. Dia kan pecinta hutan.” Mereka tersenyum. Aku bahagia.
“Sawah kali Dam. Masa’ hutan sih. Emangnya gue Dudul apa. Lahirnya di Hutan.” Kami semua tertawa. Bahkan si Dudul yang diejekk, malah terpingkal-pingkal. Tak menyangka si Ari masih saja bisa membuat kami tertawa bersama.
“Jangan lebay Dul! Gue mau, lo tetep suka biru. Biru dan luas seperti lautan. Biru dan tinggi seperti langit. Jangan pernah jatuh, dan mengecil. Dan lo Ram. Lo mesti tahu …” aku sengaja berhenti. Ingin melihat raut wajah Rama yang seperti penuh sejuta harap. Penuh sejuta makna.
“Lo itu bukan janda.” Semua kembali tertawa, namun perlahan terdiam lagi. “Tapi, lo mesti tetep jadi Ungu. Lo kan saingannya Pasha, Ram. Suara lo nggak kalah ma dia. Paling lo cuman kalah di tampang aja Ram.” Kami kembali tertawa. Rama tertawa paling keras.
Sekarang aku berdiri membelakangi mereka. Menantang laut. Menantang hidup. Kuhirup angin laut dalam-dalam. Segarnya sampai ke ubun-ubun. Menjalar ke relung terdalam sukma dan batinku.
“Gue mau, lo semua tetap pada warna lo masing-masing. Kita tetap akan jadi pelangi. Tapi aneh. Karena di pelangi nggak ada hitam seperti gue. Tapi tetap, gue yakin, kita semua akan selalu jadi pelangi. Pelangi yang kan menghiasi langit Jakarta. Pelangi yang memberi nuansa surga. Bagiku, semua ini teramat sangat berharga. Kalian sangat berharga.”
Mereka lalu datang merapat ke sampingku. Kami bergandengan. Bertujuh. Dalam tujuh rupa berbeda. Tujuh warna. Meski bukan pelangi, namun aku percaya … pelangi itu akan segera terbit. Tak lama lagi. Ya … tak lama lagi.
“Guys. Antar gue ke Monas dong. Gue pengen banget ke sana nih.” Aku menatap keenam sahabatku itu dalam-dalam. Mereka memenuhi keinginanku. Sejam kemudian, kami sudah berada di halaman parkir Monas. Bangunan terindah di Jakarta menurutku. Benar-benar anggun.
Kami naik lift ke puncaknya. Dan …
Tiga … dua … satu!!!
Kini aku berada di atas puncak tertinggi di Jakarta. Dari sini aku dapat menyaksikan pemandangan seluruh Jakarta, yang teramat anggun. Tak pernah cukup kata untuk menjabarkan keindahannya. Tak pernah ada batas yang kan memagari keanggunannya. Di atas puncak ini. Segalanya mungkin …
Tentang sahabat
Terlalu banyak kisah
Terlalu banyak cerita
Tak ‘kan pernah habis …
Selalu terjalin
Terpilin erat
Tak ‘kan bisa lepas
Atau … tak mau
Kau … yang tak pernah bosan
Kau … yang selalu setia
Kau … yang selalu ada
Kau … yang
Kucinta …
Tentang kau …
Tak pernah ada akhir
Selalu berawal …
Tentangmu …
Tak lekang waktu
Kisah kau dan aku
Kisah … tentang kita
Kan Selalu Ada …
Untaian puisi itu keluar dari mulutku. Menggema di puncak tertinggi. Terbawa udara sampai ke langit. Bergaung di angkasa. Lalu masuk ke sela langit yang mendung. Perlahan … seiring nafas yang melemah. Dunia jadi hitam. Tak ada lagi mentari. Apa lagi pelangi. Yang aku tahu … kini aku terbang. Bebas. Lepas. Melayang. Ke langit ketujuh. Aku bahagia. Sangat bahagia.
Kini keenam sahabatku itu berdiri meratapi gundukan tanah merah yang masih basah. Mencoba menggali arti dari untaian kata yang tertera dalam kertas putih, yang telah basah oleh air hujan … dan air mata.
Untuk Nino, Duta, Adi, Ari, Dudul,
dan Rama …
Sekarang langit sudah mengeluarkan air matanya. Kuharap, cukup ia yang menangis … jangan lagi kalian. Tersenyumlah sahabat. Tengoklah langit yang bahkan kini tersenyum lagi. Cerah memancarkan cahaya senjanya. Merah memukau.
Lihatlah pelangi yang kini hadir di senja Jakarta. Betapa indahnya pemandangan itu. Andai aku masih bersama kalian … tentu akan jauh lebih indah. Menikmati Jakarta bersama. Kota yang menjadikan kita seperti ini. Mempertemukan kita dalam satu. Berbanggalah kawan. Karena kalian masih akan bersamanya. Aku pun masih. Tetap bersamanya.
Maafkan segala lara yang ku toreh di Hatimu. Segala sesal yang kubuat. Semasa masih putih abu-abu. Semasa kita masih belum tahu arti hidup. Saat kita masih terbuai dengan palsu. Maaf untuk tak mungkin bersamamu lagi … kawan.
Terima kasih untuk segala indah. Setiap bahagia yang kau beri dalam waktu. Semua rasa yang tercurah padamu. Sejuta syukur karena pernah mengenalmu. Terima kasih untuk hari terakhir yang teramat indah. Terima kasih untuk cinta … dan persahabatanmu. Titip Jakarta padamu ya … kawan. Doakan aku … dapat melihat pelangi di sini. Seperti yang menghiasi senja Jakarta saat ini. Kawan … terima kasih untuk segalanya.
Langit kini tersenyum. Memperlihatkan senyum penuh warna. Seperti warna keenam sahabatku. Pelangi melengkung menghiasi senja, yang mulai turun ke kaki langit Jakarta. Bumi basah oleh air mata. Rumah tanahku pun dipenuhi air mata. Kebahagiaan.

Kamis, November 06, 2008

PEMILU FENOMENAL AS 2008

Kemenangan Dramatis dari Gedung Putih
Dunia Berpesta dan Berharap kepada Obama

Era Baru di Mulai

Tanggal 4 November menjadi hari yang sangat bersejarah bagi warga Amerika Serikat sepanjang 100 tahun terakhir ini. Bagaimana tidak, warga Amerika Serikat telah membuktikan kepada dunia, mengenai Demokrasi yang mereka dan pemimpin-pemimpin mereka selalu dengungkan kepada dunia Internasional, melalui kemenangan paling dramatis dalam sejarah pemilihan presiden di negara adidaya itu. Perubahan paling fundamental benar-benar terjadi di Amerika Serikat.
Hasilnya, sudah kita ketahui, Barack Hussein Obama junior, terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat, setelah menang telak (Landslide) atas rivalnya John McCain, dari Partai Republik. Ia juga mengabadikan dirinya dalam sejarah kepemimpinan negara itu, sebagai presiden kulit hitam pertama. Ini benar-benar membuktikan suatu komitmen yang luhur dari warga AS untuk benar-benar mewujudkan dunia yang demokratis, bebas dari konflik horizontal yang disebabkan oleh pluralitas rasial, Agama, etnis, bahasa, kultural yang seharusnya menjadi jalan pemersatu umat manusia.
Kemenangan Obama, juga banyak mendapat pujian dari pemimpin-pemimpin dunia. "Dengan memilih anda, warga Amerika telah memilih suatu perubahan besar, keterbukaan, dan optimisme. Pada saat kita harus menghadapi persoalan-persoalan penting bersama, terpilihnya anda meningkatkan harapan besar di Prancis, Eropa, dan Dunia." kata Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy dalam suratnya kepada Obama.
PM Inggris, Gordon Brown memuji politik Obama yang memberi semangat, "Nilai-nilainya sangat progresif dan Visinya untuk masa depan".
Presiden Cina Hu Jintao mengatakan dalam sebuah pesan tertulis, "Saya menanti-nantikan ... membawa hubungan bilateral kerja sama yang konstruktif kita ke tingkat yang baru."
Sementara pemimpin kulit hitam pertama di Afrika Selatan, Nelson Mandela, mengatakan dalam suratnya kepada Obama, kemenangan Obama memperlihatkan bahwa tiap orang harus berani bermimpi untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Kemenangan daramatis itu, dirayakan dengan kebahagian yang penuh suka cita oleh warga AS juga oleh warga negara lain di seluruh dunia. Ini menunjukan penghargaan sekaligus besarnya harapan warga Internasional kepada Obama. Harapan paling besar tentu adalah perbaikan situasi ekonomi dunia yang saat ini tengah mengalami gonjang-ganjing, yang penyebabnya sebenarnya berasal dari negeri Paman Sam itu.
Obama mempunyai tanggung jawab kebijakan ekonomi yang amat berat. Ia mendapat warisan masalah yang sedang diderita perekonomian AS serta ancaman resesi global. Hilangnya kepercayaan akan ketidakpastian masa depan ekonomi, memicu kepanikan di kalangan pelaku ekonomi dunia, yang berujung dengan turbulensi pasar finansial yang terjadi saat ini.
Kemenangan Obama tentu mengingatkan kita pada kemenangan Franklin D Roosevelt yang menjadi presiden ke-32 tahun 1933. Saat itu, AS juga sedang dilanda resesi besar yang menyeruak sekitar tahun 1929. Roosevelt dipilih karena programnya yang populis dan diyakini mampu menggerakkan sektor riil. Roosevelt banyak memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat kooperatif dan padat karya. Kebijakan ekonominya, diarahkan kepada peningkatan kesempatan kerja (Full-Employment). Dengan kesempatan kerja yang besar, akan mendorong naiknya daya beli (Demand Side) masyarakat sehingga perekonomian akan bekerja. Dalam Ilmu Ekonomi, ini lebih dikenal dengan kebijakan Keynesian.
Kebijakan yang serupa sangat dibutuhkan di AS saat ini, tapi tentu dengan sejumlah penyesuaian. Langkah yang ditempuh tidak mesti benar-benar sesuai dengan program "New Deal" yang di kampanyekan Roosevelt saat itu. Yang jelas, perekonomian membutuhkan langkah konkret untuk menggerakkan sektor riil.
Apakah Obama akan menjadi Franklin D Roosevelt ke dua? Hal itu masih sangat buram di tengah euforia kemenangannya. Hanya waktu yang akan menguji dan menentukan nasib kepemimpinan Obama.
Yang jelas, warga dunia menaruh harapan yang sangat besar atas kemenangan dramatis Obama di Gedung Putih.

Rabu, November 05, 2008

Semua Tentang Jakarta_Bag. 2 (Wajah Asli Ibu Kota)

Macet lagi ... macet lagi!!! Tapi Si Komo kok gak lewat???
Tetap saja. Apakah si Komo lewat, lari, lompat, atau pun terbang di tengah Jakarta, si Ibu Kota akan selalu macet ... macet dan macet. Itulah hal lain yang juga tak kalah kontrasnya di Jakarta.

Jalanan di Jakarta, teramat lebar bila dibandingkan dengan jalan protokol di daerah lain, apa lagi di daerah asalku, Kendari. Begitu pula, dengan volume kendaraan yang menindas jalan di kota ini setiap hari, begitu banyak, sehingga saking banyaknya, mesin bergerak buatan manusia itu sering berebutan untuk lewat dan menikmati perjalanan, sembari meninggalkan yang lain dalam penantian yang menyebalkan. Tak jarang, malah mesin-mesin itu membuat warga Ibu kota harus saling berkompetisi bahkan saling adu jotos, agar bisa menguasai si jalan yang mungkin tengah menangisi atau malah menertawai tingkah manusia-manusia bodoh itu.
Gedung. Jangan ditanya soal yang satu ini. Bangunan berkotak-kotak, tinggi menjulang dengan angkuh melambangkan peradaban yang sangat tinggi, selalu dapat ditemui di sudut kota ini. Kota yang dibangun dengan design arsitektural yang sarat akan eksotika dan estetika seni. Pemandangan yang menakjubkan, membuat mata susah untuk tertutup demi menikmati keajaiban kecil yang dapat dibuat manusia saat ini.
Namun, lebih kritis lagi ... pemandangan itu ternyata tidak seindah yang dilihat oleh mata. Ada satu hal yang mengusik. Pemandangan itu ternyata begitu sangat dan bahkan terlalu kontras. Benar-benar kontras. Gedung-gedung angkuh yang hendak mencapai puncak biru lazuardi, seolah dengan damai hidup berdampingan dengan pemukiman-pemukiman milik warga yang secara kasar mungkin bisa dianggap sebagai kaum marginal Ibu Kota, mulai dari level menengah, sedikit di bawah menengah, hingga level yang paling bawah, bahkan berdampingan dengan mereka yang tidak mempunyai atap peneduh sekalipun. Ironis dan sungguh kontras.
Aku jadi bertanya sendiri. Yang manakah yang merupakan wajah Ibu kota yang asli? Yang sebenarnya? Apakah ia punya dua wajah. Tidak. Pasti salah satunya hanyalah topeng yang menutup keburukan yang lain. Menutup lembar hitam sisa-sisa kebobrokan masa lampau. Mencoba menipu mata dengan menampilkan kamuflase visual lewat pemandangan ajaib yang memabukkan mata. Namun mereka lupa, masih ada mata hati yang tak kan tertipu.
Aku jadi teringat dengan pengalamanku saat berkunjung ke salah satu Taman Baca Anak di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Waktu itu masih bulan Ramadhan. Aku megikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh sebuah Komunitas Relawan yang bergerak di bidang Perpustakaan anak, Komunitas 1001 Buku.
Itu adalah kali pertama aku ke Cipinang. Saat itu pula aku pertama kali melihat langsung LP Cipinang yang sangat terkenal dan sering masuk TV karena menjadi sarang mereka yang terlibat kontak dengan setan yang beranama asli NARKOBA. Di sanalah aku menyaksikan salah satu bentuk wajah Ibu kota yang kata teman seperjalananku adalah wajah Ibu kota yang sebenarnya. "Jangan hanya lihat di Kuningan Dam! Itu hanya kamuflase saja. Seperti inilah wajah Ibu kota yang asli Dam!" Begitulah yang ia katakan kepadaku. Mataku jadi sedikit terbuka.
Walau saat itu aku baru Tiga bulan di Jakarta, namun aku sudah cukup hafal dengan gedung-gedung yang ada di kawasan Segitiga Emas Jakarta, ada juga yang menyebutnya kawasan Segitiga Bisnis Jakarta, Kuningan-Sudirman-Thamrin. Bagaimana tidak. Aku tinggal, kuliah, dan hampir setiap hari berlalu-lalang tidak menentu di kawasan yang dipenuhi gedung pencakar langit itu. Namun aku mulai mengerti akan kepalsuan itu. Tidak lebih dari topeng yang menutup luka yang tergores di wajah Ibu kota. Wajah asli Jakarta.
Seperti Jakarta Under Cover yang sudah diungkap oleh bang Muamar Emka. masih banyak yang akan terungkap dari sisi gelap Jakarta. entah sekarang, esok, lusa atau nanti.
Yang pasti ini baru permulaan ....
tunggu saja ...
Menunggu memang menyakitkan.
lebih menyakitkan lagi kalau yang ditunggu tidak bisa kita temui.
maka menunggulah ...
(Catatan yang kubuat di Perpus. BSM Tercinta)

Kamis, Oktober 30, 2008

Semua Tentang Jakarta_Bag. 1

Tentang Jakarta
Aku datang ke Jakarta tanggal 6 Juli 2008. Kesan pertama datang ke Jakarta, Jakarta itu sangat kontras sebagai suatu kota Megapolitan. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang teramat angkuh, bersanding damai dengan pemukiman-pemukiman penduduk, mulai dari level kumuh, sederhana, hingga level yang paling mewah sekalipun. Seperti yang aku bilang, benar-benar pemandangan yang sangat kontras.
Awal pertama di Jakarta terasa begitu hambar karena baru pertama kali jauh dari segala hiruk pikuk aktivitas rutin yang aku lakukan. Jauh dari keluarga dan orang tua. Jauh dari segala hal indah yang dapat memotivasi otak dan mensugesti jiwaku untuk betindak dan tidak hanya diam di tempat tidur seperti yang aku lakukan dalam beberapa hari pertama aku di Jakarta. Tepatnya di daerah Utan Kayu, Rawa Mangun, Jakarta Timur.
Namun Setelah terpisah dari ikatan jasmaniah dengan orang-orang yang aku cintai di kampung halaman, sekarang ikatan baru mulai tumbuh dalam jiwa dan batinku. Apa lagi setelah aku menginjakkan kakiku di rumah kontrakan tempat aku berteduh selama menuntut ilmu di tanah ibu pertiwi ini. Rumah tempat berkumpulnya tujuh orang anak muda yang baru merasakan kehidupan yang sebenarnya. Rumah yang menjadi tempat bagi kami berlindung dikala hujan badai mengguyur bumi, menyejukkan jiwa, kala panas terik menyengat kehidupan. Benar-benar indah terasa. Ya! Tak hanya secara fisik tapi lebih secara naluriah. Aku mulai mencintai Jakarta. Jakarta!
Jakarta dengan segala keanggunannya yang mampu menutupi semua kelusuhannya. Jakarta yang penuh dengan keajaiban, sehingga aku seolah tak mampu menemukan kejenuhan di kota ini. Jakarta yang dipenuhi dengan semua pernak-pernik kehidupan, mulai dari zaman Batu, zaman Logam hingga zaman dimana mesin lebih berguna bahkan daripada otak manusia sekalipun. Jakarta yang menjanjikan surga bagi merka yang mampu menggapainya, dan neraka bagi mereka pecundang yang kalah dengan pertarungan melawan kehidupan di Ibu kota.
Sekarang, waktu bergerak tak mengikuti kehendakku. Aku ingin mengungkap indahnya tempat-tempat yang aku singgahi selama berada di Jakarta. Mungkin sudah terlambat, tapi bagiku, waktu itu sungguh teramat baik. Ia masih menyisakan kesempatan untukku, untuk mengungkap segala tabir yang aku temui di sudut-sudut kota Jakarta.
Kedengarannya seperti Jakarta Undercover. Tapi ini lain. Semua yang terekam oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, tangan, kaki, dan kepala serta wajah yang tertunduk malu, bersyukur karena mampu mengecup semua pengalaman yang aku alami di lorong-lorong gelap kota Jakarta. Dari pagi, hingga pagi esok hari, kembali datang mengetuk pintu rumah dan pintu di otak kananku. Menyadarkanku, bahwa aku memang harus segera mengungkap segalanya. Segalanya …