Kamis, Oktober 30, 2008

Semua Tentang Jakarta_Bag. 1

Tentang Jakarta
Aku datang ke Jakarta tanggal 6 Juli 2008. Kesan pertama datang ke Jakarta, Jakarta itu sangat kontras sebagai suatu kota Megapolitan. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang teramat angkuh, bersanding damai dengan pemukiman-pemukiman penduduk, mulai dari level kumuh, sederhana, hingga level yang paling mewah sekalipun. Seperti yang aku bilang, benar-benar pemandangan yang sangat kontras.
Awal pertama di Jakarta terasa begitu hambar karena baru pertama kali jauh dari segala hiruk pikuk aktivitas rutin yang aku lakukan. Jauh dari keluarga dan orang tua. Jauh dari segala hal indah yang dapat memotivasi otak dan mensugesti jiwaku untuk betindak dan tidak hanya diam di tempat tidur seperti yang aku lakukan dalam beberapa hari pertama aku di Jakarta. Tepatnya di daerah Utan Kayu, Rawa Mangun, Jakarta Timur.
Namun Setelah terpisah dari ikatan jasmaniah dengan orang-orang yang aku cintai di kampung halaman, sekarang ikatan baru mulai tumbuh dalam jiwa dan batinku. Apa lagi setelah aku menginjakkan kakiku di rumah kontrakan tempat aku berteduh selama menuntut ilmu di tanah ibu pertiwi ini. Rumah tempat berkumpulnya tujuh orang anak muda yang baru merasakan kehidupan yang sebenarnya. Rumah yang menjadi tempat bagi kami berlindung dikala hujan badai mengguyur bumi, menyejukkan jiwa, kala panas terik menyengat kehidupan. Benar-benar indah terasa. Ya! Tak hanya secara fisik tapi lebih secara naluriah. Aku mulai mencintai Jakarta. Jakarta!
Jakarta dengan segala keanggunannya yang mampu menutupi semua kelusuhannya. Jakarta yang penuh dengan keajaiban, sehingga aku seolah tak mampu menemukan kejenuhan di kota ini. Jakarta yang dipenuhi dengan semua pernak-pernik kehidupan, mulai dari zaman Batu, zaman Logam hingga zaman dimana mesin lebih berguna bahkan daripada otak manusia sekalipun. Jakarta yang menjanjikan surga bagi merka yang mampu menggapainya, dan neraka bagi mereka pecundang yang kalah dengan pertarungan melawan kehidupan di Ibu kota.
Sekarang, waktu bergerak tak mengikuti kehendakku. Aku ingin mengungkap indahnya tempat-tempat yang aku singgahi selama berada di Jakarta. Mungkin sudah terlambat, tapi bagiku, waktu itu sungguh teramat baik. Ia masih menyisakan kesempatan untukku, untuk mengungkap segala tabir yang aku temui di sudut-sudut kota Jakarta.
Kedengarannya seperti Jakarta Undercover. Tapi ini lain. Semua yang terekam oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, tangan, kaki, dan kepala serta wajah yang tertunduk malu, bersyukur karena mampu mengecup semua pengalaman yang aku alami di lorong-lorong gelap kota Jakarta. Dari pagi, hingga pagi esok hari, kembali datang mengetuk pintu rumah dan pintu di otak kananku. Menyadarkanku, bahwa aku memang harus segera mengungkap segalanya. Segalanya …

1 komentar:

Anonim mengatakan...

masih mau kotor....
tapi kenapa gak u tulis zaman batu muda,tua,tengah and zaman batu kubur....
7 orang...laskar pelangi kapan....
hujan badai...kenapa gak ada tsunaminya sekalian....