Senin, April 26, 2010

Bangunlah kaum yang terhina dan lapar

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid. free.fr yang sampai
sekarang

sudah dikunjungi lebih dari 601 660 kali

Bangunlah kaum yang terhina

bangunlah kaum yang lapar

Menjelang datangnya Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei yang akan datang, yang
akan dirayakan di banyak penjuru dunia sebagai salah satu peringatan
kemenangan perjuangan kaum buruh/pekerja melawan penindasan, pemerasan atau
penghisapan kaum kapitalis reaksioner, maka di bawah berikut ini disajikan
teks atau lirik lagu « Internasionale » dalam bahasa Indonesia.

Bangunlah kaum jang terhina,

Bangunlah kaum jang lapar.
Kehendak jang mulja dalam dunia
senantiasa tambah besar.
Lenjapkan adat dan faham tua
kita Rakjat sedar-sedar.
Dunia sudah berganti rupa
untuk kemenangan kita.
Perdjuangan penghabisan,
kumpullah berlawan.
Dan Internasionale
pastilah di dunia.

Kitalah kaum pekerja s'dunia,
Tent'ra kerja nan perkasa.
Semuanya mesti milik kita,
Tak biarkan satupun penghisap!
Kala petir dahsyat menyambar
Di atas si angkara murka,
Tibalah saat bagi kita
surya bersinar cemerlang!
Perdjuangan penghabisan,
kumpullah berlawan.
Dan Internasionale
pastilah di dunia

Dikumandangkan oleh para perintis kemerdekaan

Lagu yang dijadikan oleh berbagai gerakan buruh dan golongan kiri di dunia
sebagai lambang perjuangan ini juga sudah dikenal d Indonesia sejak jaman
pemerintahan kolonial Belanda, dan dinyanyikan oleh gerakan–gerakan
nasionalis perintis kemerdekaan, serikat buruh dan anggota serta simpatisan
PKI, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

Namun, seperti yang dialami atau diketahui oleh banyak orang di Indonesia,
lagu « Internasionale » ini telah tidak bisa disuarakan dengan terbuka atau
terang-terangan dalam jangka yang lama sekali, karena dilarang oleh rejim
militer Orde Baru sebagai barang taboo dan dianggap berbahaya karena «
berbau komunis ». Karena itu, lagu « Internasionale » ini kurang dikenal di
Indonesia, tidak seperti di jaman pemerintahan Bung Karno ketika nyanyian
ini sering terdengar dimana-mana.

Sedangkan, ketika « Internasionale » ini dilarang di Indonesia oleh rejim
militer Suharto pada waktu itu, di banyak negeri di seluruh dunia lagu ini
disuarakan dengan lantang oleh berbagai rakyat dalam macam-macam bahasa,
yang jumlahnya melebihi 300 bahasa dan dialek, dan diterjemahkan dengan
sedikit perobahan-perobahan dari teks aslinya. Di seluruh dunia, hanya di
Indonesia di bawah Suhartolah lagu Internasionale dilarang atau ditabookan
secara terang-terangan dan menjadi sikap politik yang resmi dari rejim Orde
Baru.

Diciptakan semasa Komune Paris

Padahal, sejak lagu ini diciptakan pada tanggal 30 Juni tahun 1871 oleh
seorang penyair dan tukang kayu di Perancis, Eugene Pottier, sudah menjadi
sangat terkenal secara internasional di kalangan gerakan buruh dan
revolusioner. Eugene Pottier adalah anggota Komune Paris yang terkemuka,
yang merupakan pemerintahan klas buruh yang pertama kali di dunia, yang
berkuasa selama 72 hari di Prancis

Pemerintahan klas buruh Komune Paris dikalahkan oleh kaum borjuis
reaksioner, dan ribuan pendukung Komune dibunuh dan sekitar 50 000 orang
diadili. Eugene Pottier sendiri dijatuhi hukuman mati in absensia, sehingga
terpaksa melarikan diri untuk sementara ke Amerika Serikat, dan kemudian
kembali lagi ke Prancis. Syair gubahannya, yang mengumandangkan semangat
pembrontakannya melawan penindasan, penghisapan dan kemiskinan oleh klas
borjuasi, kemudian diisi sebagai musik oleh Pierre Degeyter dalam tahun
1888.

Sejak itu, lagu Internasionale yang teksnya membangkitkan semangat
perjuangan kaum buruh dan gerakan revolusioner atau gerakan kiri di banyak
negeri di dunia, menjadi lagu yang disuarakan oleh berbagai golongan yang
tergabung dalam macam-macam gerakan komunis, sosialis demokrat, trotskis,
anarchis, atau golongan progresif lainnya.

Disuarakan oleh gerakan revolusioner di dunia

Sepanjang sejarah perjuangan berbagai rakyat di macam-macam negara di
dunia dalam melawan fasisme dan kaum kapitalis dan klas borjuis reaksioner,
lagu Internasional merupakan sumber semangat yang besar dan penting bagi
banyak orang. Lagu ini dinyanyikan dalam kalangan Yahudi di ghetto-ghetto
Warsawa ketika melawan fasisme Jerman-Hitler. Juga oleh pasukan-pasukan
pembrontakan Spanyol melawan kekuasaan Jenderal Franco, atau di berbagai
gerakan revolusioner menentang para diktator reaksioner di Amerika Latin.

Jadi, selama lebih dari 100 tahun lagu Internasionale sudah mempunyai daya
yang besar untuk membangkitkan keberanian dan mendorong tekad bagi mereka
yang mau mengadakan perlawanan terhadap segala macam penindasan,
penghisapan dan ketidakadilan di berbagai penjuru dunia.

Pada dewasa ini, lagu Internasionale masih terus sering terdengar dalam
pertemuan-pertemuan penting dalam gerakan menentang neo-liberalisme dan
globalisasi, yang dilakukan oleh bermacam-macam gerakan yang luas, dan tidak
terbatas hanya oleh kalangan kiri, progresif, komunis, atau sosialis saja.
Ini dapat disaksikan dalam kegiatan-kegiatan di kalangan Third World Forum,
World Forum for Alternatives , di pertemuan-pertemuan di Porto Allegre
(Brasilia), di Caracas (Venezuela), di Bogota (Bolivia), di Afrika Selatan,
Mali, Kenya, atau di Prancis, Jerman, Italia, Spanyol dan negeri-negeri
Skandinavia.

Mengingat itu semua, maka kiranya untuk selanjutnya di Indonesia pun lagu
Internasional juga perlu dipakai sebagai pembangkit semangat perjuangan
gerakan buruh, dan mendorong persatuan serta menggalang setiakawan dalam
melawan segala macam ketidak-adilan dan pemerasan oleh kalangan kapitalis
reaksioner nasional maupun internasional, yang bersekongkol dengan para
penguasa dalam pemerintahan SBY.

Tidak perlu takut-takut lagi menyanyikan Internasionale

Di kalangan gerakan buruh Indonesia, dan juga di kalangan kaum kiri atau
golongan progresif dalam masyarakat, sudah tidak perlu takut-takut lagi
untuk mengumandangkan lagu Internasioale dalam kegiatan-kegiatan penting.
Sekarang ini, pemerintahan SBY, atau juga pemerintahan- pemerintahan lainnya
sudah tidak bisa melarang atau mencegah lagi diperdengarkannya lagu
Internasionale. Sebab, tindakan sebodoh itu hanya akan membikin lebih buruk
lagi muka pemerintahan SBY, yang selama ini sudah terlalu buruk oleh karena
berbagai persoalan besar dan kerusakan atau kebejatan yang meluas. Selain
itu, pasti akan mendapat perlawanan dari masyarakat luas dan sebagian
terbesar rakyat tidak mematuhi larangan semacam itu.

Sebab, sebagai contohnya, walaupun larangan terhadap beredarnya di negeri
kita marxisme resminya masih belum dicabut, namun dalam prakteknya sudah
banyak orang atau penerbit yang berani mengedarkan buku-buku yang berisi
ajaran-ajaran marxisme (atau berbau-bau komunis/PKI)

.

Marxisme lewat Google di Internet

Lagi pula, dengan adanya Internet, maka larangan terhadap diedarkannya
marxisme di Indonesia menjadi soal yang bisa dianggap kentut saja oleh
banyak orang. Sekarang ini, melalui Internet, setiap orang yang berminat
terhadap marxisme, komunisme, atau sosialisme, dapat memperoleh bacaan yang
beratus-ratus ribu halaman setiap waktu.dan secara bebas, dengan membuka
Google.

Contohnya : dalam website http://umarsaid. free.fr tersedia di halaman utama
(index) rubrik yang berjudul Marxisme. Dalam rubrik ini dapat dibuka, setiap
hari atau setiap saat, berbagai macam bahan bacaan tentang sejarah marxisme
di Indonesia, Tan Malaka, Leon Trotsky, Lenin, dan seabrek-abrek bahan
lainnya tentang marxisme).

Apa yang dikatakan Bung Karno

Dengan demikian, kiranya makin jelaslah kebenaran apa yang dikatakan Bung
Karno dalam tahun 1966 (setahun sesudah peristiwa G30S) bahwa marxisme tidak
bisa dilarang dan juga ketika ia mengatakan sebagai berikut : « Apa lagu
Internasionale itu hanya dinyanyikan oleh komunis tok ? Seluruh buruh !
Komunis atau niet communist, right wing atau left wing, semuanya menyanyikan
lagu Internasionale. Janganlah orang tidak tahu lantas berkata, siapa
melagukan Internasionale, ee, PKI ! God dorie (bahasa Belanda,kira- kira
artinya : Astaga atau Masya Allah) Lagu Internasionale dinyanyikan di
London, di Nederland, di Paris, di Brussel, di Bonn, di Moskow, di Peking,
di Tokio. Pendek, dimana-mana ada kaum buruh mengadakan serikat, menyanyikan
lagu Internasionale » (dikutip dari buku « Revolusi belum selesai , jilid
II, halaman 313).

Dewasa ini, bagi kita di Indonesia, mengumandangkan lagu Internasionale
merupakan penghormatan kepada pengorbanan para Digulis yang banyak meninggal
di pembuangan Tanah Merah dan para perintis kemerdekaan lainnya. Menyanyikan
lagu Internasionale bisa juga berarti menunjukkan sikap marah dan kebencian
kepada rejim militer Suharto beserta para pendukung setianya. Di samping
itu, mengumandangkan lagu Internasionale juga berarti ikut melestarikan jiwa
perjuangan revolusioner Bung Karno.

Paris, 26 April 2010

A. Umar Said

Jumat, April 23, 2010

DAMAI - Akhir Perseteruan Polisi-TVOne

Bila membaca media, dan kalau tak salah tafsir, inilah kira-kira kesimpulan hasil mediasi antara Polri dan Tv One:



1. Andris Ronaldi bukan markus palsu, tapi markus kelas teri. Kalau menurut anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, Andris ini kelasnya cuma calo STNK. Seperti mewawancarai seorang perawat untuk topik yang mestinya menghadirkan dokter ahli, kata BHM. Atau menurut istilah karangan saya, Tv One telah mempraktikkan "jurnalisme Mak Erot". Barang kecil dibesar-besarkan. Pokoknya terdepan menggemparkan.



2. Pengakuan Andris bahwa dirinya diminta menghafal skenario tanya-jawab sebelum wawancara (agar mengaku sebagai markus Mabes Polri), adalah tudingan bodong, alias dusta. Termasuk pengakuannya bahwa sebenarnya ia dihubungi sebagai narasumber topik TKI, dan bukan markus, juga bohong. Inilah yang membuat Tv One berang dan menyatakan akan menggugat balik Andris. Tapi menurut Karni Ilyas, seperti dikutip BHM, Tv One tidak akan menggugat balik.



Mengapa mendapat fitnah seserius itu Tv One legowo saja dan tak menggugat balik? Padahal sebelumnya sudah keras ingin memperkarakan bekas narasumbernya itu.



3. Tv One tak perlu minta maaf pada Polri karena sudah melakukannya dalam jumpa pers tempo hari (9 April). Ini bagian yang selalu membingungkan. Permintaan maaf 9 April itu permintaan maaf atas apa? (1) Karena menggunakan sumber palsu? (padahal Tv One yakin bukan), (2) Karena membuat Polri tidak enak hati? (ini wartawan atau ajudan jenderal).



Nah, setelah terpapar bahwa Andris bukan narasumber hasil rekayasa, tapi (hanya) kelas teri, di mana lagi meletakkan konteks permintaan maaf kepada Polri itu? Apakah itu permintaan maaf karena telah menggunakan "jurnalisme Mak Erot"? Lalu mengapa saat 9 April tidak diakui saja bahwa Andris memang sumber kelas "calo STNK"?



Bagaimana pula dengan nasib jutaan penonton yang sudah kadung berdecak kagum dengan kehebatan Tv One mendapat narasumber "markus Mabes Polri"?



Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dengan semua isi wawancara Andris? Benarkah ada ruangan di samping ruang Kapolri untuk urusan permarkusan dll yang sudah diumbar Andris? Harus meralatnya atau bagaimana? Jadi di Mabes Polri ada markus atau tidak? Atau cuma ada calo STNK?



Hal-hal lain yang juga belum terjawab adalah:



1. Bagaimana Dewan Pers melihat tindakan Polri yang menyadap pembicaraan antara Indy dan narasumber anonimnya (kesampingkan dulu bahwa ia Andris "si mulut besar"), dan menjadikannya sebagai bahan aduan ke Dewan Pers? Apakah ini baik-baik saja dan tak takut jadi preseden? Bagaimana kalau yang menyadap bukan polisi, tapi instansi atau perusahaan yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media? Bolehkah individu atau sebuah organisasi yang merasa difitnah oleh pemberitaan sebuah media, lalu membuntuti, mengejar, dan menyadap komunikasi antara wartawan dan narasumbernya, dan membawa material tersebut sebagai bahan aduan ke Dewan Pers, dan lalu diterima?



2. Mengapa Polri hanya memperkarakan Andris dan tidak turut menggugat Tv One (tentu secara perdata), sebagai media yang "turut serta" menyebarluaskan fitnah? Padahal Tv One sangat jelas terlihat tidak prudent dalam memilih narasumber untuk konteks ini.



3. Bagaimana pula dengan isi SMS/BBM Indy Rahmawati yang mengaku kepada Andris dirinya ditekan oleh bos di kantor Pulogadung untuk membuka jatidiri sumber anonimnya? Tekanan membuka sumber anonim bukan dalam rangka verifikasi, tetapi untuk melayani permintaan pihak lain (patut diduga melayani polisi). Bagaimana Dewan Pers melihat ini? Adakah "fatwa" khusus mengenai ini, atau dianggap selesai begitu saja.



Akhirul kalam, inilah 86 antara Polri dan Tv One yang difasilitasi Dewan Pers (?). Dan kita semua nyaris tak mendapat pelajaran apa-apa selain tentang "jurnalisme Mak Erot".... (*)



ta(b)ik,



dandhy



NB: kalau nilai catatan ini terdelegitimasi hanya karena saya tidak nyalon jadi anggota KPI (dan memilih jadi tukang shooting keliling), ya saya telan saja risiko itu....

Kamis, April 22, 2010

Membedah Ulang Gurita Cikeas




Judul Buku: George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas
Penulis : Komunitas Tanah Air
Editor : S.G. Artha
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : xvi + 174 halaman

SEJAK diperkenalkan Galang Press pada acara pre-launching (23/12/2009) di Jogjakarta, buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC), Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro (GJA) menimbulkan kontroversi. Tak kurang, Presiden SBY dalam beberapa kesempatan perlu memberikan sanggahan dan menyebutnya ''fitnah''. Para pendukung SBY pun, baik yang berlatar belakang akademikus maupun politikus, ikut menghujat MGC sebagai ''sampah''.

Kehadiran buku MGC yang sebagian besar menyingkap skandal korupsi atau ''perampokan'' Bank Century dan keterlibatan yayasan-yayasan Cikeas binaan SBY seakan menjadi momok yang menakutkan. Sebab, itu mengganggu kekuasaan pemerintahan SBY. Ketakutan tersebut tecermin dari reaksi keras pemerintah yang menilai buku tersebut berisi pelanggaran terhadap SARA, pencemaran nama baik, hingga berakhir pada pelarangan buku. Kita pun bertanya, apa jadinya kalau sebuah buku dibakar, dilarang beredar, dan penulisnya ''dihukum''? Apa bedanya dengan zaman Orde Baru yang membungkam dan melarang buku, yang sudah dikecam habis-habisan oleh gerakan reformasi? Apa bedanya dengan rezim antidemokrasi yang mengadili seorang penulis? Apa bedanya dengan praktik inkuisisi di zaman lalu?

Berlatar belakang pertanyaan itulah, Komunitas Tanah Air ikut andil dalam menanggapi buku kontroversial yang saat ini sudah ditarik dari pasaran itu. Yakni, menerbitkan buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas. Komunitas Tanah Air adalah komunitas yang sebagian besar anggotanya merupakan mantan aktivis '98 yang merasakan pahit-getir perjuangan melawan rezim Orde Baru hingga melahirkan reformasi. Mereka juga anak muda NU di Jogjakarta yang concern untuk mempertemukan antara ide-ide ke-NU-an/pesantren dengan ide-ide marhaenisme, ide-ide sosio-ekonomi, dan kerakyatan. Di bawah kepemimpinan Nur Khalik Ridwan, komunitas itu terus berada di barisan terdepan dalam mengontrol bangsa, menentang praktik KKN, dan ketimpangan sosial-ekonomi.

Hingga kini, atau lebih tepatnya hingga buku ini terbit, belum ada buku atau kajian yang coba merespons terbitnya MGC secara serius. Hanya, saat buku ini memasuki naik cetak, telah muncul dua buku lain yang menanggapi buku yang ditulis GJA tersebut. Yaitu, buku Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku (ditulis Setiardi Negara, Jakarta) dan Cikeas Menjawab (ditulis Garda Maheswara, Jogjakarta). Meski demikian, nada dua buku tersebut tampak terkesan reaktif dan bukan mengapresiasi secara kritis (hlm. vi-vii).

Berbeda dengan dua buku di atas, buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas memiliki model dan cara pandang yang berbeda sama sekali. ''Kami menulis buku karena ingin menyikapi buku. Bagi kami, membakar dan melarang buku adalah pekerjaan yang menunjukkan belum menjadi manusia yang beradab, yang akan semakin memperlama penemuan tentang arti menjadi Indonesia yang berwawasan luas, dan tegak berdiri secara terhormat di mata dunia, semakin tergerus mundur. Kami belajar dari masa lalu, bahwa pelarangan dan pembakaran buku tidak bisa melarang dan menghentikan gagasan,'' (hlm. 11-12).

Cara pandang yang ditawarkan Nur Khalik Ridwan dkk melampaui buku-buku sebelumnya; bukan sekadar membebek dan "mengamini tanpa reserve" buku MGC. Banyak kelemahan yang dapat ditemukan dalam buku MGC. Bahkan, jika dibandingkan dengan buku George sebelumnya, yaitu Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (diterbitkan LKiS Jogjakarta, 2006), penggarapan buku MGC terkesan tidak serius, seperti penulisannya yang kurang sistematis, tanpa pendahuluan, dan kurang mendalam, baik dari segi analisis maupun keragaman datanya.

Namun demikian, Komunitas Tanah Air juga tidak setuju dengan upaya kelompok-kelompok "yang disebut dalam buku" (termasuk para pendukungnya) melarang, apalagi memberedel, dan menyebutnya buku itu sebagai ''sampah''. Penyebutan ''sampah'' muncul karena dilatarbelakangi ketidakpahaman pihak yang menanggapi. Arianto Sangaji mengungkapkan, banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ''jejaring korupsi'' yang mendasari buku MGC. Bisa ''dimaklumi'' bila pelakunya adalah para politikus karena kekuasaannya terganggu.

Salah satu solusi yang ditawarkan para mantan aktivis '98 dalam buku ini adalah mendorong bangsa Indonesia untuk bersikap bijak, yakni menghidupkan iklim adu argumentasi yang proporsional; buku dibalas buku, penelitian hendaknya juga dibalas penelitian, bukan malah diintimidasi dengan segala bentuknya.

Bagi mantan aktivis '98 itu, menulis buku adalah kegiatan manusiawi dan kegiatan membangun peradaban. Banyak peradaban yang dapat berkembang dan jaya karena menghargai buku, mencetak buku-buku, dan membuat iklim yang baik agar perdebatan dan diskursus dalam sebuah buku dan wilayah sosial bisa berkembang. Fungsi buku ialah dibaca, baik untuk memperkaya perspektif maupun memperdalam kritik. Buku adalah gizi rohani umat manusia. Karena itu, juga gizi rohani bagi bangsa Indonesia.

Lihatlah founding father's Indonesia: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan banyak lagi yang berbeda dari segi ideologi. Mereka membaca semua buku dari berbagai referensi, mulai yang ''kanan'' sampai yang ''kiri''. Mereka juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Tradisi seperti itulah yang tidak lagi kita temukan pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, belakangan. Jangankan membaca dan menulis buku, pemimpin kita justru sibuk ''memberedel'' buku.

Seorang pemimpin yang baik mestinya memberikan teladan dalam menyikapi suatu masalah. Pelarangan buku adalah tindakan fatal karena buku perlu dibaca sebagai informasi dan pendidikan. Lekra (saja) Tidak Membakar Buku, kata Muhiddin M. Dahlan. Dalam hal ini, pemimpin memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan teladan agar menyikapi buku dengan tidak membakar buku; dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk mengoreksi sebuah kepemimpinan dan pemimpin suatu zaman, agar roda bangsa berjalan lebih bersih, sebagaimana dicita-citakan era reformasi.

Buku Membongkar Gurita Cikeas kiranya termasuk salah satu koreksi terhadap kepemimpinan SBY periode kedua ini. Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW Febri Diansyah, buku yang ditulis GJA itu menjadi penting sebagai warning terhadap bangsa ini agar jangan sampai apa yang terjadi di zaman Orba kembali terulang di zaman reformasi. Bahkan, Ray Rangkuti, direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia, berharap agar KPU harus menindaklanjuti data-data yang diungkap GJA dalam bukunya itu. Lalu, kenapa buku tersebut dilarang? Siapa yang tiran dan siapa yang sebaliknya? (*)

Imam S. Arizal, staf Riset HumaniusH Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Januari 2010


Mozaik Peradaban dalam Terjemahan

348055

Judul buku: Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia)
Penyunting: Henri Chambert-Loir
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 1.160 halaman

NEGERI ini kerap alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya.

Buku ini merangkum sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.

Pengetahuan negeri seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns, Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T. Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden, dan Vincent J.H. Houben.

***

Nama-nama tersebut memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik, sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19 dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat membumikan modernitas di Jawa.

Peran penerjemah juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ''banyak orang Sunda merasa perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern di sekeliling mereka''. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan modernitas melalui praktik budaya kolonial.

Lakon-lakon penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.

***

Uraian memukau tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi perantara yang genit tapi menentukan.

Kondisi itu berbeda dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter, novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, atau Saman.

Dilihat dari kisah masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras. Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar. Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. (*)

Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009

Timbangan Buku: Kelindan Politik Militer, Islam, dan Negara

-- Ahmad Sahidah*

• Judul buku: Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
• Penulis: Marcus Mietzner
• Penerbit: ISEAS, Singapura
• Cetakan: Pertama, 2009
• Tebal: xvi+426 Halaman
• ISBN: 978-981-230-787-3

KUTIPAN pengantar buku ini boleh dijadikan titik tolak membayangkan seluruh isi buku, yaitu dua pernyataan Amien Rais yang bertolak belakang. Pernyataan pertama menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia adalah memisahkan politik dan tentara, sementara yang kedua malah menganggap kehadiran tentara sangat penting untuk menjaga integritas nasional.

Tentu pernyataan mantan Ketua MPR itu memiliki konteks berbeda, tetapi tak terelakkan, ambiguitas tokoh reformasi ini menghadapi peran militer di dalam ranah sipil acapkali juga dihadapi tokoh lain. Bagaimanapun, dalam masa transisi menuju konsolidasi demokrasi, peranan militer dan hubungannya dengan kekuatan sipil tetap diperhitungkan.

Buku Marcus Mietzner yang berjudul Military Politics, Islam, and the State in Indonesia ini merupakan kajian hubungan sipil-militer pasca-Soeharto yang menekankan pada sebab-sebab dan konsekuensi dari usaha yang sukar untuk mengontrol kekuatan tentara sebagai agenda utama dari reformasi. Tambahan pula, penulis juga memandang penting "sumbangan" Islam politik sebagai salah satu ekspresi kalangan sipil dalam masa transisi. Kiprah yang sama juga bisa ditemukan pada kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan non-Muslim yang berusaha menempatkan dirinya sebagai kekuatan sipil yang menjadi penyeimbang kecenderungan aliran politik teokrasi.

Kontrol demokrasi terhadap kekuatan militer adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan transisi dari kekuasaan tangan besi ke pemerintahan demokratis. Bagaimanapun peranan militer itu sendiri tetap penting untuk mengawal proses ini sembari kaum sipil mengurangi pengaruh militer terhadap pembentukan struktur politik pascaotoritarianisme. Tambahan lagi, kekuatan sipil segera menegakkan mekanisme konstitusional yang menempatkan institusi sipil terpilih bertugas dalam sebuah pemerintahan, termasuk sektor keamanan. Pelajaran dari negara-negara Eropa Timur menunjukkan keberhasilan kontrol terhadap militer oleh otoritas negara yang dipilih secara demokratis dan sah, lebih jauh dari itu adalah peran maksimal kekuatan sipil terhadap militer dan secara fundamental tentang legitimasi, kepemerintahan, dan pertanggungjawaban hubungan militer sipil.

Model Samuel P Huntington, bahwa pembentukan militer profesional merupakan prasyarat untuk menegakkan kontrol demokrasi (hlm 15), turut memengaruhi negara-negara donor terhadap bantuan militer untuk negara-negara yang berada dalam masa transisi. Sebagian besar dana itu diperuntukkan untuk pelatihan militer klasik, dengan harapan ia akan menanamkan tingkat kepentingan yang memadai dalam profesi militer dan pada masa yang sama mengurangi hasrat mereka untuk terlibat dalam politik. Namun, profesionalisme di sini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa militer memperoleh kemampuan yang bisa mendorong untuk terlibat dalam politik.

Seperti telah diketahui, di negara-negara berkembang militer turut terlibat dalam kegiatan politik, yang seharusnya merupakan area sipil. Keterlibatan "pemilik" senjata ini kadang menggunakan jalur demokratik, seperti mengajukan jenderal sebagai kepala daerah, melobi politisi, membentuk opini publik dengan memanfaatkan media, atau terlibat di dalam organisasi masyarakat sipil atau tangki pemikiran (think tank). Namun, celakanya, mereka juga menggunakan pemaksaan dengan menekan lembaga-lembaga negara, memaksa untuk terlibat dalam keanggotaan legislatif dan eksekutif, dan malah mengambil alih pemerintahan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam area lain yang sangat strategis, ekonomi. Namun, pada era reformasi, dwifungsi mereka dipertanyakan dan bahkan digerogoti secara perlahan dengan tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen dan bisnis yang dikelola juga dilucuti.

Namun, masalahnya, kalangan sipil gagal mengambil peluang dalam memuluskan masa transisi. Ketika mereka diberi kepercayaan dengan tampilnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, justru tak lama kemudian pengongsian sipil ini pecah dan jauh dari itu kekuatan politik Islam tercerai-berai. Uniknya, salah satu pihak menggunakan hujah agama untuk mempertahankan pendiriannya, seperti pernyataan salah seorang ulama yang menegaskan bahwa darah ketua DPR dan ketua MPR waktu itu adalah halal sehingga sejalan dengan hukum Islam patut dibunuh. Tak hanya itu, beberapa kiai terkenal bertemu di Sukabumi pada April 2001 dan menetapkan bahwa penentang Gus Dur dianggap bughot, pemberontak terhadap pemerintah yang sah.

Greg Fealy menegaskan bahwa berkait dengan politik, setiap aliran mempunyai perbedaan yang utama mengenai ideologi, kebijakan, dan gaya kepemimpinan dan masing-masing menggunakan aspek pemikiran dan tradisi Islam yang berbeda untuk mengesahkan pendekatan khas mereka terhadap politik. Kebanyakan kontroversi berkait dengan struktur, identitas, dan sumber daya negara (hlm 73). Perselisihan kelompok modernis dan tradisionalis yang sebenarnya telah dimanfaatkan oleh tentara untuk menjadi penengah dan mengambil keuntungan dari situasi ini terulang pada masa pasca-Soeharto.

Organisasi kemasyarakatan

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang mewakili suara Muslim yang diberikan tempat khusus oleh penulis buku ini. NU dianggap pemain penting dalam menentukan nasib Soeharto pada waktu kritis ekonomi dan politik. Organisasi tradisionalis ini pada masa lalu juga membantu melestarikan dan melanggengkan rezim otoriter dan juga menunjukkan faktor penentu, pada tahun 1965, perubahan rezim ketika menarik dukungannya pada pemerintah yang berkuasa. Pada era Orde Baru, diwakili oleh Gus Dur, NU memilih bermesraan dengan Soeharto dengan tiga pertimbangan utama, yaitu strategi politik, ambisi pribadi, dan kepentingan sosial ekonomi kaum Nahdliyin. Namun, hubungan ormas berlambang bumi ini tidak selalu sejalan dengan jenderal bintang lima itu.

Hal yang sama juga berlaku dengan Muhammadiyah. Melalui sepak terjang Amien Rais, organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mengalami fluktuasi hubungan dengan Soeharto (hlm 156) dan pada waktu yang sama dengan militer. Ketika Soeharto berada di ujung tanduk, orang kepercayaannya, Wiranto, berusaha untuk meyakinkan masyarakat untuk tenang dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Sementara itu, koleganya, Agum Gumelar, mencoba membangun komunikasi dengan tokoh reformasi tersebut untuk membuka dialog dengan para "pembangkang". Namun, upaya ini pun gagal, Sang Raja tumbang.

Kejatuhan Soeharto menyebabkan Indonesia terpuruk pada ketidakpastian yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, tantangan keamanan, fragmentasi sosial, dan pengalaman yang luas terhadap perubahan institusi baru. Tentu, partai politik "Islam" menjadi pemain penting dalam masa transisi menuju konsolidasi. Pergeseran orientasi politik mereka yang tidak lagi terbelenggu dengan gagasan negara Islam telah mendorong langkah moderat. Apatah lagi, amandemen Undang-Undang Dasar tahun 2002 telah mengubur impian seperti ini. Koalisi dengan partai sekuler nasionalis telah mengantarkan banyak wakilnya menduduki kursi eksekutif sehingga rakyat tidak tersandera oleh kepentingan sempit perjuangan ideologi.

Benar kata Nasir Jamil, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, yang menegaskan bahwa ideologi partai adalah penting sejauh untuk kekompakan internal partai; tetapi ketika membangun koalisi, kebutuhan praktis masyarakat Indonesia mendapatkan keutamaan (hlm 344). Sikap yang sama sebelumnya juga telah dilakukan oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang tidak lagi memperjuangkan negara Islam dalam manifesto politik. Bersama partai sekuler lain, Partai Aksi Demokrasi dan Partai Keadilan Rakyat, malah mendukung program negara kesejahteraan atau dalam bahasa mereka, negara kebajikan. Tak hanya itu, partai berlambang bulan ini mendirikan sayap yang beranggotakan non-Muslim dan menggelorakan slogan "PAS for All".

Strategi di atas telah memungkinkan partai Islam untuk bekerja sama dengan nasionalis sekuler dan membuka ruang bagi kekuatan sipil untuk memerintah. Malah, menurut penulis, koalisi antarpartai Islam jarang berlaku, hanya 37 persen, itu pun tak semuanya memenangkan pemilihan kepala daerah. Pada waktu yang sama, kerja sama ini telah mempersempit peluang politisi militer untuk menduduki kepemimpinan publik.

Dari uraian tersebut, boleh dikatakan bahwa transisi ke konsolidasi demokrasi relatif berhasil dan jauh dari itu, ideologi politik tidak lagi menghalangi para pegiat partai untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Bukankah yang terakhir inilah yang menjadi tujuan demokrasi?

* Ahmad Sahidah, Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia

Sumber: Kompas, Senin, 21 Desember 2009

Cinta dan Pencarian Diri

Judul Buku : Perahu Kertas
Penulis : Dee
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : xii + 444 halama

KARYA-KARYA Dewi Lestari atau yang populer dengan nama pena Dee, memang banyak mengangkat tema cinta, mulai Supernova (tiga seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula novel terbarunya ini, Perahu Kertas, masih kental tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.

Karena bergenre populer, pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung ''serius". Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun, pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari kerja ini -tulisan yang reflektif, dan, dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan ''pandangan dunia'' Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.

Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius macam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.

Kugy adalah seorang gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan bercita-cita menjadi juru dongeng dan penulis cerita. Keenan adalah seorang remaja cerdas, artistik, dan bermimpi menjadi pelukis. Keduanya dipertemukan secara kebetulan oleh Eko dan Noni, saat Eko menjemput Keenan, sepupunya, di Stasiun Bandung. Noni, pacar Eko, adalah sahabat karib Kugy sejak kecil.

Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Ojos, dan di sisi yang lain, Noni dan Eko tengah berupaya mencomblangkan Keenan dengan seorang famili Noni bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.

Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk ''menjadi diri sendiri''. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.

Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.

Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.

Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan bosnya di kantor.

Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan ''Dee yang sebenarnya'', yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.

Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi dan cukup bernuansa eksistensial.

Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia. (*)

M. Mushthafa, Mahasiswa program Master of Applied Ethics, Utrecht University, Belanda

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 20 Desember 2009

Perempuan yang Mematahkan Nasib

-- Mustofa W. Hasyim



Judul buku: Menebus Impian
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Qalbiymedia (Q-Med), Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: viii+ 304 halaman

MANUSIA memerlukan impian. Yaitu, imajinasi tentang masa depan. Mengapa? Sebab, impian adalah ruang bagi hadir dan berbiaknya benih harapan. Makin lebar dan luas ruang impian, makin mudah bagi seseorang membiakkan harapannya dan makin mudah baginya untuk menjelajahi masa depan. Imajinasi masa depan dapat menjadi tampak lebih nyata dan tidak samar-samar lagi. Dengan demikian, ini bisa menjadi rujukan manusia dalam melangkahkan hidupnya.

Dalam sebuah kisah sukses, tokoh sekaliber Mas Agung, ketika menjadi pedagang kecil, di rumahnya dia sudah menyimpan maket toko besar. Maket toko besar yang menjadi wujud impiannya itu tiap hari dia tatap mantap-mantap dan dia yakin-yakinkan kepada dirinya bahwa suatu hari akan menjadi kenyataan. Betul, dia mampu mewujudkan impiannya dan mampu membiakkan harapannya menjadi sesuatu yang secara nyata dapat dia rasakan sebagai sukses hidup itu.

Bayangkan jika manusia tidak memiliki atau tidak mampu membangun impiannya. Dia akan terperangkap, bahkan terpenjara dalam kenyataan sehari-hari. Dia akan mirip binatang yang terperosok ke dalam perigi atau sumur dalam. Dia tidak mampu lagi melihat luasnya cakrawala dan langit pun hanya tampak sepotong lingkaran yang sempit. Selama-lamanya, sampai akhir hayat akan tetap berada di situ. Mata rantai nasib buruk pun menjeratnya sampai di ujung waktu. Mata rantai nasib buruk yang merupakan wujud negatif dari imajinasi kenyataan hari ini bisa menjangkau ke masa depan yang gelap manakala dibiarkan berkuasa dan menindas manusia tanpa ampun.

Salah satu energi dahsyat yang luar biasa, yang tersembunyi di balik hadirnya impian adalah kemampuannya untuk memutus dan mematahkan mata rantai nasib buruk itu. Ini dapat dilihat dari kisah Nur, tokoh dalam novel yang diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama ini. Nur punya ibu bernama Sekar yang pernah punya suami bernama Prakosa yang kerjaannya menyakiti perempuan sampai akhirnya bercerai. Lalu, Sekar punya ibu bernama Murni dan ayah bernama Susilo.

Kakek Nur suatu hari meninggal tertimpa reruntuhan tanah ketika menggali bahan gerabah di desanya. Nenek Nur bekerja di sebuah pabrik keramik dan ditindas oleh juragannya. Ibu Nur, Sekar, kemudian mengajak anak semata wayangnya tersebut ke kota.

Mata rantai nasib buruk yang tergelar sejak kakek dan neneknya itu pasti akan terus membelenggu Nur selama hidup jika dia hanya pasrah. Pasrah menjadi anak seorang perempuan tukang cuci belaka. Tetapi, Nur tidak demikian. Dia membangun impian. Ibunya juga membimbing agar impian itu tidak rapuh dihajar oleh kemalangan demi kemalangan. Termasuk, ketika suatu hari ibu Nur sakit parah, terkena kanker getah bening sehingga harus dioperasi.

Nur yang sedang senang-senangnya kuliah terpaksa cuti kuliah. Untuk membiayai operasi ibunya, Nur terpaksa berutang kepada Pak Roni, lintah darat yang ternyata merangkap lelaki begundal. Suatu hari Pak Roni nyaris memperkosa Nur. Selain itu, Nur terpaksa menggadaikan kalung pemberian neneknya untuk membiayai operasi ibunya.

Semua seperti buntu. Nur mencoba mencari kerja. Dia pernah terkecoh temannya. Dia dicarikan kerja di tempat hiburan. Untung, dia selalu dapat membela kehormatan dirinya. Karena tidak tahan, dia keluar dari tempat hiburan itu. Akibatnya, Nur kembali berhadapan dengan masalah yang makin membuat hidup terasa makin pahit. Uang untuk kuliah belum tersedia, utang belum terlunasi. Untung, setelah sembuh, ibu Nur bisa melanjutkan kerja dengan membuka kembali jasa laundry di kampung.

Di kampung tempat tinggal Nur, terdapat terminal nasib, di mana banyak orang terdampar di situ ketika malam. Yaitu, sebuah kedai minum bernama Kedai Madrim. Di tempat itu, hadir bermacam-macam manusia. Para pecundang nasib yang biasa menggantang asap alias bermimpi, tetapi mimpi yang tidak produktif karena hanya menghasilkan bualan demi bualan kosong belaka.

Tetapi, di tempat itu pula ada manusia yang memilih menjadi pemenang kehidupan karena dia berani membangun impian yang produktif. Impian yang membangkitkan semangat untuk bekerja keras. Salah satu di antaranya adalah lelaki muda bernama Dian.

Nur berkenalan dengan Dian. Lewat pertengkaran dan salah paham yang lumayan beriku-liku, mereka kian dekat. Apalagi, Dianlah yang pernah menolong Nur ketika ibunya sakit dan dioperasi. Lelaki tersebut meminjami uang dan Nur menyerahkan kalung pemberian neneknya untuk jaminan.

Ibu Nur, ketika kecil pernah punya impian membangun istana untuk kehidupannya. Nur tahu itu. Dia punya cita-cita luhur untuk membahagiakan ibunya. Dengan membangun impian, hidup sukses lewat kerja keras. Tetapi, memang tidak mudah mewujudkan impian semacam itu.

Di sinilah kelebihan novel ini. Detik demi detik, proses demi proses, dan penderitaan demi penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan untuk menebus impian itu diracik lewat adegan demi adegan yang menegangkan. Muncul begitu banyak bumbu jenaka di sana-sini. Abidah mampu menghadirkan novel gaul ini pas dengan bahasa dan plesetan anak muda zaman sekarang.

Hidup memang serius, impian memang serius, dan harapan bukan masalah sepele. Tetapi, untuk memasuki hidup, menebus mimpi, dan mewujudkan harapan, caranya tidak perlu dengan full speed atau full stress. Ibarat menyetir mobil, agar tujuan tercapai, pengemudi harus piawai memainkan gas, rem, dan setir itu sendiri. Sekali-sekali membunyikan klakson dan mendengarkan lagu Koes Plus atau lagu campur sari penyedap kuping.

Nur pun hadir dalam suasana yang seperti itu. Inilah yang justru kemudian mendewasakan dirinya. Pengalaman demi pengalaman hidup yang mendebarkan, mencemaskan, bermain silih berganti dengan pengalaman manis. Selain itu, banyak tanjakan duka menghadang jalan hidupnya. Sebagai perempuan, dia ditempa oleh semua itu. Tanpa sadar, dia mampu membangun jiwanya, membangun pribadinya menjadi perempuan kokoh.

Lantas, di mana Nur menemukan sumber energi untuk mematahkan mata rantai nasib buruk itu? Doa ibu, jelas. Harapan nenek yang muncul dalam simbol kalung juga jelas. Bacaan tentang surat-surat Kartini, nah ini yang penting. Ia mampu memompa semangat Nur karena dia suka membaca buku. Termasuk, surat-surat Kartini yang dia rasakan inspiratif. Juga cinta. Benarkah? Benarkah dia kemudian mampu menjalin hubungan cinta dengan Dian, lalu keduanya bersama-sama melaju ke perahu sukses sampai ke balik cakrawala nasib? (*)

Mustofa W. Hasyim, penyair tinggal di Jogjakarta

THE PHANTOM OF THE OPERA

Di Gedung Opera Paris melekat legenda Hantu Opera (The Phantom of the Opera) yang dipercayai banyak orang. Hantu itu berupa sesosok laki-laki kurus yang memakai mantel hitam berekor. Seorang saksi yang pernah menyaksikannya, mengungkapkan profil si Hantu.

"Sosoknya luar biasa kurus; mantel hitamnya menggantung bebas di badannya yang hanya tulang-tulang. Matanya menatap tajam ke depan, tidak bergerak, dan letaknya begitu dalam di rongga matanya sehingga kau nyaris tidak melihatnya. Kau hanya melihat dua buah lubang gelap, seperti yang biasa terlihat pada tengkorak. Kulitnya sekeras kulit beduk. Warnanya bukan putih, melainkan kuning kusam. Hidungnya begitu kecil sehingga kau tidak dapat melihatnya ketika memandangnya dari samping, dan ketiadaan hidung tersebut membuatnya kelihatan menyeramkan. Rambutnya berupa tiga atau empat gumpalan hitam yang terjurai di dahi dan di belakang telinga." (hal. 19).

Kehadiran hantu itu dijadikan lelucon bagi sebagian orang, sedangkan bagi kalangan yang pernah melihat atau memiliki pengalaman langsung dengannya, menyimpan kepercayaan tersendiri pada makhluk itu, termasuk soal balkon nomor 5 yang sudah jadi `milik' Hantu Opera. Penulis buku ini, Gaston Leroux, meyakinkan pembaca bahwa hantu itu benar-benar ada. Namun ia bukan sesuatu yang mistis. Hantu itu adalah sosok manusia riil yang berdarah-daging dan bernyawa.

Sebagai kisah klasik yang menarik, The Phantom of the Opera sudah diadaptasi ke berbagai bentuk, seperti film berjudul sama yang dibintangi oleh Gerard Butler, Emmy Rossum, dan Patrick Wilson pada tahun 2004. Ceritanya cukup klise, berpulun tentang kisah cinta segitiga antara seorang soprano (penyanyi opera) bernama Christine Daaé yang dicintai oleh makhluk buruk rupa bergelar Hantu Opera dan seorang bangsawan muda bernama Viscount Roul de Chagny. Daaé yang awalnya hanya seorang soprano biasa, mendadak menjadi terkenal setelah berlatih bernyanyi dibimbing Malaikat Musik yang tak lain adalah Hantu Opera.

Drama misteri percintaan yang berlatar tahun 1864 itu berhubungan dengan peristiwa misterius yang terjadi di ruang santai penari dalam gedung Opera. Kejadian itu berupa penculikan Christine Daaé, menghilangnya Viscount Roul de Chagny, dan tewasnya Viscount Philippe de Chagny (kakak Roul) di tepi telaga yang mengarah ke Rue Scribe di bawah gedung Opera.

Hal-hal aneh hadir mengiringi petualangan Chistine dan Roul yang ternyata telah saling mengenal sejak kecil. Mereka dikejar-kejar teror Hantu Opera yang tidak rela Chistine jatuh ke pelukan laki-laki lain. Ada bagian-bagian yang menggidikkan. Di antaranya saat Hantu Opera perlahan-lahan membuka topeng putih penutup wajahnya di hadapan Chistine. Suasana horor begitu seram ketika Chistine menyaksikan rupa tengkorak yang mengerikan. Di akhir kisah, Christine mencium muka itu.

Novel ini menyenangkan untuk dibaca. Terutama bagi penyuka sastra klasik. Lebih syahdu bila membacanya sambil mendengarkan musik Mozart atau iringan biola yang menyayat.[]

(Resensi: Ade Efdira)

Detail Buku
Judul: THE PHANTOM OF THE OPERA
Penulis: Gaston Leroux
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Februari 2010
Tebal: 488 hlm

Masjid Bradford Menangi "Menara Masjid Paling Indah se-Eropa"Rabu, 21 April 2010, 10:11 WIB

Republika OnLine
Masjid Madni, Bradford


STRASBOURG-- Masjid Madni di Bradford, Inggris Utara mengalahkan 50 nimonator lainnya dalam pemilihan "Menara Masjid Paling Indah se-Eropa". Demikian parlemen Eropa mengumumkannya, Selasa.
Pemilihan ini dihajat oleh COJEP Internasional, sebuah organisasi amal yang didirikan kaum muda di Prancis bekerja sama dengan OSCE dan Dewan Eropa. Yuri dalam pemilihan ini terdiri dari berbagai kalangan interrasial dan etnik serta independen. Termasuk dalam barisan dewan yuri adalah seorang rabi Yahudi, teolog Protestan asal Swiss, dan seorang pendeta Anglikan.

Yuri mengumpulkan data 53 menara masjid di 13 negara Eropa sebelum membuat pilihan mereka. Kriteria masjid yang diikutkan dalam lomba itu adalah yang berusia  di bawah  50 tahun dan  telah memenuhi syarat untuk kontes. "Kami tidak memasukkan masjid-masjid bersejarah   seperti di Andalucia, Bosnia, atau Paris karena kami menginginkan kompetisi tetap terkait dengan imigrasi Islam terkini," kata juru bicara COJEP, Veysel Filiz.

Juri mengambil keputusan atas dasar pertimbangan estetika tetapi juga cara menara yang bekerja di lingkungan perkotaan itu dibangun dalam. "Ide dari kompetisi ini adalah untuk menunjukkan bahwa menara tidak boleh berkaitan dengan rasa takut dan prasangka," kata Filiz.

Bagaimana Dewan Pengelola Masjid bekerja juga disorot. "Karena Islam di Eropa harus bekerja secara transparan dan masjid terbuka untuk masyarakat," tambahnya.

Menurut Filiz, syiar Islam adalah terbuka dan bersifat universal. "Jika Islam adalah tersembunyi di gua-gua, kita tidak dapat mengetahui apa yang dikatakan di mimbar," tegasnya.

Inisiatif untuk kompetisi sengit telah dikritik oleh kelompok kanan ekstrem, terutama di internet. Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Pemberian penghargaan itu didukung oleh parlemen Eropa.
 
Bradford mosque wins 'most beautiful minaret in Europe' prize
21 April 2010, 00:49 CET
— filed under: religion, parliament, British, Islam
(STRASBOURG) - Bradford's Madni mosque, in northern England, has beaten 50 others to win the title of "Europe's most beautiful minaret," the European parliament was told Tuesday.
The mosque in Bradford, which has a large Muslim population, was only inaugurated in 2008.
Its four minarets won the prize from a shortlist including mosques in Stockholm, Rome. Olso and Granada in Spain, said the prize organisers COJEP international, a youth charity started by Turkish immigrants in France, which is a partner of the OSCE and the Council of Europe.
A "multiconfessional, multiethnic, " jury, including a Jewish rabbi, a Swiss protestant theologian and an Anglican priest, looked in total at 53 minarets in 13 countries before making their choice.
Only those under 50 years of age were eligible for the contest "we refused all 'historic' minarets like those in Andalucia, Bosnia or Paris because we wanted the competition to remain linked to recent Islamic immigration, " said COJEP spokesman Veysel Filiz.
The jury made their decision on the basis on aesthetic considerations but also the way the minaret works in the urban environment it is built into.
"The idea of the competition was to show that minarets shouldn't be vehicles of fear and prejudice," said Filiz.
Mosques should be visible from afar "because Islam in Europe must function in a transparent fashion and the mosques be open to society.
"If Islam is hidden in caves, we can't know what it said in the pulpits," he stressed.
The initiative for the competition has been fiercely criticised by extreme right groups, notably on the Internet

KRISIS BUMI = KRISIS KEMANUSIAAN

Bumi
tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Manusia
dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sangat bergantung pada daya dukung
lingkungan. Sayangnya ketergantungan tersebut tidak berbanding lurus dengan
tingkat perawatan bumi atau lingkungan yang memadai. Fakta terkini, bahwa
status lingkungan
hidup di Indonesia saat ini sangat kritis dan hampirterjadi secara masif di setiap
daerah. Ini adalah konsekuensi
logis dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus dan
sporadis dengan slogan"keruk banyak, jual
murah" yang tentunya berdampak negatif pada ketersediaan sumber daya alam.
Realitanya, luas hutan Indonesia 50 tahun
terakhir diperkirakan terus menyusut, dari 162 juta Ha menjadi 109 juta Ha. WALHI
mencatat 77 juta Ha dari 109 juta hektar hutan tropis Indonesia telah hilang,
sehingga hutan tersebut tinggal 32 juta hektardan akan
semakinbertambah jika tidak ada upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Di samping
itu,telah terjadi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa
sawitsecara besar-besaran.
Sampai pada tahun 2008, total lahan yang dikonversi untuk perkebunan
sawit telah mencapai 7,8 juta hektardan yang lebih memprihatinkan 57% produksi sawit mentah
dijual ke luar negeri, terutama ke Eropa, sedangkan kebutuhan dalam negeri yang
hanya 3 juta liter minyak sawit mentah pun tak mampu dijamin pemenuhannya.
Kekayaan
alam Indonesia yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara arif demi
kesejahteraan rakyatnya telah berubah menjadi kutukan. Kini, Indonesia terancam
bencana ekologis yang sangat besar, yaitu suatu bencana berupa akumulasi dari
krisis ekologis akibat dari ketidakadilan dan gagalnya sistem pengelolaan
alam yang
telah menyebabkan kolapsnya pranata kehidupan rakyat. Hal ini tampaknya sudah
mulai dapat dirasakan secara nyata bukan semata-mata ilusi, terbukti dengan
intensitas terjadinya bencana yang meningkat. Pada tahun 2008 misalnya, Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) mencatat korban menderita
dan mengungsi berjumlah 1.941.597 orang akibat dari 379 bencana berupa banjir, longsor,
kekeringan, kegagalan teknologi, letusan gunung berapi, abrasi, gempa bumi, dan
lain-lain. WALHI juga memperkirakan 83% wilayah Indonesia rawan bencana, akibat
faktor alam maupun akibat ulah manusia.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakansatu dari sekian daerah
di Indonesia yang memiliki masalah lingkungan hidup yang cukup mengkhawatirkan. WALHI Yogyakarta mencatatat
selama kurun waktu 2006 sampai dengan 2010terjadi 101kasus lingkungan, yakni
berupa pelanggaran kebijakan, alih fungsi lahan dan tata ruang, pencemaran,
sampah, pertambangan hingga penggusuranyang sampai sekarang ini belum juga
terselesaikan. Tingginya tingkat pencemaran udara yang
terjadi diperkotaan akibat banyaknya penggunaan
kendaraan bermotor pribadi juga merupakan permasalahan yang sangat serius, jika
tidak ditanggulangi, besar kemungkinanYogyakar ta
akan menjelma menjadi kota polutan seperti halnya kota-kota besar lain. Akses
masyarakat terhadap air bersih semakin sulit,
data
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melangsir 70% air tanah di Yogyakarta tercemar(Kompas, 17/3).
Sementara
itu petani di kawasan perisir selatan Yogyakarta kini
sedang berjuang melawan arus kekuatan modal dan negara yang tak pernah
berpihak. Sebab rencana pertambangan pasir besi dan
pembangunan pabrik baja di Kulonprogo akan berdampak buruk
terhadap ekosistem kawasan pesisir,dan akses petani
terhadap tanah untuk sumber-sumber kehidupan terancam hilang. Selain hak atas lingkungan yang
sehat dan asas kemanusiaanyang terancam, rencana
penambangan tersebut terbukti melanggar hak ekonomi, sosialdan budaya masyarakat, sebagaimana termaktub
di dalam UU No11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Silang-sengkarut tata
kelola lingkungan hidup setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Lingkungan hidup ditempatkan sebagai barang komoditi dan
sumber daya alam dipandang hanya sebagai resource bukan sebagai aset. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung eksploitatif
dan beorientasi pasar
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan
lingkungan hidup tidak berbasis pada ekosistem dan pengetahuan lokal.
3. Ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam
4. Pendekatan sektoral dan administrarif dalam pengelolaan
sumber daya alam
5. Lemahnya kontrol dan pengawasan, dan
6. Lemahnya penegakkan hukum

Hingga hari ini negera abai untuk mereduksi kehancuran
ekologis dan ketidakadilan sosial ekonomi yang semakin mengkhawatirkan. Pemangku negara, baik pemerintah
pusat maupun daerah, cenderung mengabaikan fakta bahwa Indonesia berada dalam fase kritis, mulai
dari segi ekologis maupun kemampuan bertahan hidup mayoritas. Praktik-praktik
eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan masih terus sajaterjadi. Sebuah paradigma yang lebih
mengutamakan kepentingan ekonomis dibandingkan kepentingan ekologis dan
sosiologis. Apabila hal ini terus berlanjut, besar kemungkinan :
1. Pada tahun 2025, dua
pertiga orang di dunia akan mengalami krisis air yang parah
2. Polusi bahan kimia
berbahaya ditemukan di semua generasi baru dan diperkirakan satu dari empat
orang di dunia terpapar polusi udara yang tak sehat
3. Keanekaragaman hayati
telah memasuki tahap kepunahan spesies keenam terbesar
4. Perubahan iklim yang dapat
mengakibatkan meningkatnya badai, banjir, kekeringan dan hilangnya spesies.

UNTUK ITU KAMI MENUNTUT:
1. Keadilan
dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di indonesia
2. Pengelolaan
sumber daya alam tidak lagi dilakukan secara sektoral, tetapi dilaksanakan
secara holistik dan komperenhensif
3. Pemenuhan
hak-hak atas lingkungan yang merupakan
hak asasi manusia yang selama ini diabaikan
4. Hentikan
praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan penurunan daya
dukung li ngkungan dan menimbulkan bencana-bencana ekologis
5. Pemenuhan
sarana dan prasarana umum yang pro rakyat dan lingkungan

Yogyakarta, Hari
BUMI, 22 April 2010

Masykur Isnan
Koordinator Umum
085729280206| masykur_isnan@ yahoo.com

Rabu, April 21, 2010

Pabrik Nikel Di Bangun Di Sultra

Kendari – Kepres/ 20 April 2010

Dua Pabrik Tambang Nikel Kelas Menengah bakal bediri di Sulawesi Tenggara (
Sultra ) yakni Kabupaten Kolaka Utara dan Konawe Selatan. Kemarin Peletakan
Batu Pertama Pembangunan Perusahaan dilakukan pihak PT. Integra Mining
Nusantara di Desa Wonua Kongga Kecamatan Laeya Kabupaten Konsel

Kami dari pemerintah daerah mendukung investasi ini. Apa lagi pabrik ini
merupakan perusahaan lokal dan dirancang oleh putra indonesia kata Bupati
Konsel Imran.

Langkah positif PT. Integra Mining Nusantara diharapakan Bupati dapat
menjadi pemacu perusahaan lain. Tidak hanya mengapalkan atau menjual Nikel
dalam bentuk bahan baku mentah, namun sudah melalui proses pengolahan
sehingga hasilnya lebih berharga

Disamping harga lebih tinggi, juga banyak kontribusi di berikan untuk
daerah, tetrutama dalam meyerap tenaga kerja lokal dan perekonomian warga
setempat, kata Imran

Dalam Pembanguan Pabrik, Bupati juga meminta tidak ada persoalan tanah
dengan warga pemilik, demikian halnya dengan pembuatan Dermaga atau
pelabuhan untuk mengapalkan produksi nikel, tak berada di hutan bakau, semua
telah melalui prosedur

Hal senada dikatakan kepala perwakilan PT. Integra Mining Nusantara Konsel.
Laode Aswandi, menurutnya dalam pendirian perusahaan telah mengantongi IUP (
Izin Usaha Pertambangan) tidak ada persoalan lagi, sudah melalui Amdal dan
persolan tanah seleseai, katanya

IUP lahan seluas 400 Hektar tidak masuk dalam kawasan hutan, sebagian adalah
lahan penduduk, tetapai semuanya telah di bebaskan dalam bentuk ganti rugi.
Industri pengolahan biji nikel ini diperkirakan akan berproduksi pada
Agustus atau September mendatang tingkat produksinya mencapai 1.500 hingga
1.800 ton perbulan dalam bentuk Vero Nikel, dengan investasi awal senilai U$
30
Juta.

Sedangkan dalam perekrutan tenaga kerja di utamakan penduduk lokal, tahap
pertama sudah dijaring 50 orang untuk tenaga pembangunan pabrik, tahap ke
dua rencananya akan di rekrtut 85 orang lagi

Sementara itu hadir dalam acara peletakan batu pertama adalah Wakil Bupati
Konsel Sutarjo Pondiu, Sekretaris Daerah setempat Sardjun Mokke dan pejabat
teras lainnya, kemudian dari Dinas Perindustrian dan perdagangan Sultra
serta Pejabat Muspida lainnya.

Chandra Hamzah Temui Pengacara di Puri Imperium

Selasa, 6 April 2010

Jakarta (ANTARA News)
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Chandra Martha Hamzah, Selasa malam, menemui sejumlah pengacara di
kompleks hunian atau apartemen Puri Imperium, di kawasan jalan HR Rasuna
Said, Jakarta Selatan.

Pertemuan berlangsung di lantai dua bangunan yang sebagian berfungsi
untuk perkantoran dan hunian tersebut. Chandra dan sejumlah pengacara
bertemu di sebuah ruangan di Perpustakaan Daniel Lev`s.

Selain Chandra, para pengacara dan aktivis yang hadir dalam pertemuan
itu antara lain Arif T. Surowidjojo, Alexander lay, Taufik Basari, dan
Fikri Assegaf. Selain itu juga hadir mantan Wakil Ketua KPK, Erry Riana
Hardjapamekas.

Arif T Surowidjojo adalah advokat dan aktivis yang juga teman lama
Chandra Hamzah dalam menggagas pendirian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK). Arif pernah muncul dalam konferensi pers Menteri Keuangan Sri
Mulyani terkait dugaan pembicaraan antara Sri Mulyani dan mantan pemilik
Bank Century, Robert Tantular.

Sementara itu, Alexander Lay dan Taufik Basari adalah advokat yang
pernah membela Chandra ketika terjerat kasus di kepolisian. Sedangkan
Fikri Assegaf adalah partner Chandra dalam kantor hukum Assegaf Hamzah
and Partners.

Sumber informasi menyebutkan, Chandra tiba di tempat pertemuan itu
menjelang maqrib, setelah peserta pertemuan yang lain datang.

Rapat berlangsung tertutup di sebuah ruangan di perpustakaan Daniel
Lev`s yang terbuka untuk umum. Pertemuan itu selesai sekira pukul 19.30
WIB.

Ketika dikonfirmasi tentang pertemuan tertutup itu, Chandra Hamzah tidak
membantah. Namun, dia langsung membantah pertemuan itu terkait dengan
kasus-kasus yang sedang ditangani oleh KPK, terutama kasus Bank Century.

Awalnya, Chandra mengatakan, hanya berbincang tentang buku dengan para
advokat dan aktivis lainnya itu. Setelah didesak, Chandra menjelaskan
pertemuan itu terkait dengan upaya praperadilan yang akan diajukan oleh
Anggodo Widjojo terhadap penghentian penuntutan kasus Bibit dan Chandra.

"Ini tim pembela Bibit Chandra menanyakan praperadilan itu, saya
sampaikan sidangnya dimulai tanggal 12," kata Chandra.

Ketika ditanya tentang keperluan Erry Riana Hardjapamekas yang tidak
pernah terlihat dalam tim pembela, Chandra tidak memberikan penjelasan
rinci.

"Sebagai orang tua," kata Chandra tentang peran Erry dalam pertemuan
itu.

Chandra mengaku sudah memberitahukan rencana pertemuan itu kepada
pimpinan KPK yang lain.

Namun dia tidak mengelak bahwa dia tidak disertai oleh ajudan atau
pengawal yang selalu mendampinginya dalam setiap kegiatan sebagai
pimpinan KPK.

Ketika ditanya kenapa ajudan tidak mendampinginya, Chandara berujar
singkat, "mbuh.."

Chandra menegaskan, dia sudah memberitahu Wakil Ketua KPK, Bibit Samad
Rianto tentang pertemuan itu.

ANTARA kemudian bertanya kepada Bibit melalui pesan singkat apakah ada
rencana pertemuan dengan para mantan tim pembela Bibit dan Chandra.

"Kok tidak ada? ada apa mas? Aku sedang di Balikpapan," kata Bibit
melalui pesan singkat.

Setelah kembali dijelaskan bahwa ada informasi pertemuan antara pimpinan
KPK dan tim pembela Bibit-Chandra, Bibit tidak segera membalas pesan
singkat. Sampai dengan pukul 22.00 WIB, belum ada jawaban dari Bibit.

Sementara itu, mantan Ketua KPK Erry Riana Hardjapamekas yang hadir di
pertemuan itu mengatakan, pertemuan itu adalah pertemuan biasa yang
dilakukan di sebuah perpustakaan yang terbuka untuk umum.

Erry membantah pertemuan itu terkait penanganan kasus Bank Century. Dia
menegaskan, pertemuan itu terkait dengan upaya praperadilan yang akan
diajukan oleh Anggodo Widjojo. (F008/R009)

BANK CENTURY

KPK Masih Memerlukan Waktu [Rabu, 14 April 2010 | 03:39 WIB]

Jakarta, Kompas - Hingga gelar perkara keempat, status hukum kasus Bank
Century masih belum beranjak dari penyelidikan. Komisi Pemberantasan
Korupsi menyatakan, masih perlu waktu untuk mendalami kasus ini dengan
meminta keterangan dari sejumlah pihak, khususnya dari kalangan pejabat
Bank Indonesia dan pejabat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.

"Semalam, gelar perkara belum selesai hingga pukul 23.00 karena banyak
sekali materinya. Hari ini kami lanjutkan. Dari hasil gelar perkara, KPK
memutuskan, pekan ini akan memanggil sejumlah pejabat BI, Bank Century,
dan KSSK," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa (13/4).

Dia menjelaskan, KPK masih membutuhkan keterangan sejumlah pihak untuk
memperjelas data yang telah diperoleh. "Sedikitnya ada 4.000 lembar data
yang telah terkumpul," katanya.

Johan menambahkan, Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah hingga Senin malam
masih mengikuti gelar perkara kasus Bank Century.

Sebelumnya, penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menyarankan agar Chandra
Hamzah tidak lagi terlibat dalam memutuskan kasus Century karena
khawatir dituding mempunyai konflik kepentingan lantaran kedekatan
dirinya dengan Arif Surowidjojo, konsultan hukum KSSK, dan Menteri
Keuangan Sri Mulyani yang juga pernah menjadi kuasa hukum Chandra ketika
beperkara di kepolisian.

Menurut Johan, dalam rapat pimpinan KPK, Senin malam, telah dibicarakan
soal permohonan agar Chandra tidak mengikuti gelar perkara Century.
Namun, hasil Rapim KPK belum memutuskan sikap apa-apa terhadap masalah
tersebut. "Saya belum tahu yang hari ini, apakah Chandra ikut atau
tidak," ucapnya.

Terkait kasus Century, sekelompok orang yang menamakan diri Satuan Tugas
Pandawa, Selasa, bertemu dengan Tim Sembilan pengusul hak angket Bank
Century.

Hadir sebagai perwakilan Satgas Pandawa tersebut, seperti Dita Indah
Sari, Bonnie Hargens, dan Iwan D Laksono. Mereka diterima di antaranya
oleh Akbar Faizal, Bambang Soesatyo, dan Maruarar Sirait.

Satgas memberikan dukungan karena Tim Sembilan rentan mengalami
intimidasi dan pembunuhan karakter serta kriminalisasi. (edn/aik)

Selasa, April 06, 2010

PIDATO KETUA UMUM PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN

PEMBUKAAN KONGRES KE - III PDI PERJUANGAN

BERJUANG UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT 

  DENPASAR, 6 – 9 April 2010

 
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semua

Om Swastiastu

Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,

Merdeka!!!

Saudara-saudara Utusan Kongres III PDI Perjuangan, tamu undangan, dan segenap bangsa Indonesia yang saya hormati, cintai dan banggakan,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta'ala atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah menjaga dan mengantarkan kita kembali ke Bali, tempat dimana kesejarahan PDI Perjuangan ditoreh, dan sekaligus tempat dimana spirit 'merah' tetap terjaga.

 
Kongres PDI Perjuangan III ini diselimuti rasa bela sungkawa mendalam dimana dua tokoh bangsa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa: bapak K.H. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur serta kader nasionalis yang hidup di tiga zaman yakni Bapak Frans Seda. Beberapa waktu lalu kita juga kehilangan Bapak Subagyo Anam yang hingga akhirnya hayatnya terus memberikan sumbangsih bagi Partai. Saya mengajak warga kita semua untuk mendoakan, dan lebih lagi meneladani pikiran dan tindakan mereka dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara khusus saya juga ingin mengucapkan selamat kepada KH Sahal Mahfudz dan KH Said Agil Siraj yang telah terpilih sebagai Rais Aam dan Ketua Tandfidziyah PBNU pada Muktamar ke-32 NU di Makassar beberapa waktu lalu. Saya berkeyakinan, di tangan beliau berdua peran sentral NU sebagai pengawal ke-bhinneka- an Indonesia akan terus terjaga.

 
Saudara-saudara peserta Kongres III,

Hari ini kita berkongres bukan sekadar untuk memenuhi kalender 5 tahunan partai, bukan pula sekadar untuk memilih ketua umum atau membagi-bagikan posisi. Tetapi untuk menyalakan kembali suluh perjuangan dan menyatukan diri dalam lengan-lengan perjuangan untuk membangun jiwa dan raga Indonesia merdeka. Mengapa? Karena Kongres kali ini dilaksanakan di tengah ingar-bingar politik nasional. Ingar bingar yang sedang menguji apakah jalan demokrasi yang kini kita jalani mampu mengantarkan ke kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik atau justru menjerumuskan kita pada kekelaman sejarah.

 
Saudara-saudara,

Sebagai partai kita boleh berbangga karena di tengah-tengah  ingar-bingar politik nasional, konsolidasi internal tetap berjalan baik. Pelaksanaan konsolidasi Partai yang dipandu SK 435 telah mengantarkan kita ke Kongres III ini.

Harapan saya, pasca Kongres III, energi partai tidak lagi terserap hanya untuk konsolidasi internal. Pembentukan PAC, Ranting, dan Anak Ranting harus bisa diselesaikan tanpa proses berlarut-larut. Kita mesti menyediakan lebih besar lagi energi untuk bekerja bersama rakyat.

 
Saudara-saudara para kader Partai yang saya banggakan,

Sebagai kekuatan politik PDI Perjuangan sedang dihadapkan pada ujian sejarah yang tidak mudah. Kita disodorkan pada pilihan pragmatis antara koalisi dan oposisi. Saya sungguh berduka karena politik telah direduksi tidak lebih dari sekadar urusan perebutan dan pembagian kekuasaan antar kekuatan politik, antar elit politik. Saya berduka karena pemahaman di atas meninggalkan inti etis dan ideologis dari politik sebagai seni dan sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan kedaulatan politik, keberdikarian ekonomi, dan jati-diri kebudayaan kita sebagai bangsa merdeka.

 
Dalam kesempatan ini saya perlu tegaskan bahwa cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, sejumlah menteri, ataupun istana merdeka. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karenanya sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat.

 
Sebagai partai ideologis posisi kita sangat jelas: kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.

Penegasan di atas tidak berarti PDI Perjuangan anti kekuasaan. Tetapi ini untuk menegaskan bahwa jika kita harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan kehendak rakyat itu terjadi.

 
Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, kita bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat untuk memilih.

 
Saudara-saudara,

Posisi di atas adalah wujud tanggung-jawab kita sebagai kekuatan politik; tanggung-jawab untuk menjaga agar demokrasi yang sehat dapat tetap bekerja dengan sebaik-baiknya. Tanggung-jawab untuk memberikan pendidikan politik bahwa moral politik yang paling sederhana yang dituntut dari seorang pemimpin yang betul-betul revolusioner adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan. Posisi di atas sekaligus adalah wujud penghormatan kita pada pilihan rakyat. Saya sangat berharap, agar pilihan PDI Perjuangan ini bisa dihormati oleh semua pihak.

 
Saudara-saudara,

Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu lalu. Kemerosotan suara adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara- ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita.

 
Sudah saatnya kita menyadari untuk kemudian bangkit membenahi segala kekurangan dan kelengahan kita selama ini. Sudah saatnya kita menata ulang seluruh perangkat perjuangan untuk kemudian menatap dengan penuh optimisme bahwa partai ini adalah partai milik wong cilik dan dipersembahkan bagi mereka. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali aktif dalam membangun solidaritas horizontal bersama rakyat untuk membuat lompatan kualitatif. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali menjadi kekuatan yang merajut keaneka-ragaman kita ke dalam satu kesatuan tekad, satu kesatuan jiwa, dan satu kesatuan gerak.

 
Saya mengajak setiap warga partai, mari kita jadikan lima tahun kemarin sebagai pelajaran berharga, dan kita jadikan lima tahun ke depan sebagai tahun-tahun PERUBAHAN & KEBANGKITAN.

 
Ini mengingatkan saya, pada tahun tahun sulit yang pernah dilewati Bung Karno, dan hingga hari ini masih terngiang di telinga saya, kata-kata Bung Karno:  "Majulah terus, jangan mundur, mundur-hancur, mandeg ambleg; bongkar, maju terus, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai point of no return !!!"

Untuk itu, kita tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke jati diri sebagai partai ideologis.

 
Saudara-saudara,

Menjadi partai ideologis bukanlah pilihan mudah. Perkembangan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan besarnya tantangan yang harus kita jawab. Kita dihadapkan pada rendahnya kecakapan dan tidak tersedianya media bagi partai dalam mengelola opini dan membangun komunikasi. Kita bahkan belum memiliki sistem data base yang handal sebagai dasar pengambilan keputusan.

 
Kita dihadapkan pada keterbatasan sumber pembiayaan di tengah-tengah kebutuhan anggaran pengelolaan partai yang semakin besar. Kita dihadapkan pada kelangkaan kepemimpinan baik secara kualitas maupun. Pengaturan kelembagaan partai kita masih terpusat pada satu tiang penyanggah, yakni organisasi partai dari DPP hingga anak ranting. Kita membiarkan tangan-tangan partai yang mengelola kekuasaan dan pemerintahan tidak diatur dalam AD/ART partai. Ini menimbulkan kesulitan dalam membangun koordinasi dan sinergi lintas pilar penyangga partai. Kita akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan, meluasnya kecenderungan fraksi berjalan sendiri-sendiri atau sebaliknya kegagalan struktural partai dalam memberikan arahan bagi fraksi dan dalam membangun komunikasi dan sinergitas dengan kepala daerah.

Kita dihadapkan pada persoalan kaderisasi dan penataan jenjang karier yang belum terlembaga dengan baik. Kita juga dihadapkan pada belum terlembaganya sistem dan mekanisme rekrutmen yang membuat proses regenerasi berjalan lamban dan kesulitan mendatangkan tunas-tunas yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin partai dan bangsa ke depan.

 
Regenerasi memang tidak secepat yang kita harapkan. Tetapi kita jangan salah kaprah seakan proses regenerasi tidak terjadi. Tengoklah ke daerah-daerah, cukup banyak tunas-tunas baru yang tumbuh. Tengoklah di parlemen kita, semakin banyak generasi muda berkiprah. Merekalah yang siap memimpin bukan saja PDI Perjuangan, tapi bangsa ini di masa mendatang yang saya yakin tidak terlalu lama lagi.

 
PDI Perjuangan juga dihadapkan pada rendahnya disiplin warga partai sebagai salah satu tulang punggung tegaknya partai ideologis. Kita dihadapkan pada kemerosotan militansi anggota. Voluntarisme dan aktivisme memudar sebagai elan berpolitik digantikan dengan pertimbangan "untung-rugi". Ditinggalkannya TPS oleh saksi Partai pada pemilu legislatif dan pilpres adalah contoh kecil.

 
Saudara-saudara,

Dari sisi eksternal, tantangan bagi PDI Perjuangan untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.

 
PDI Perjuangan harus bekerja dalam situasi psiko-politik "anti-partai" dan "anti-ideologi". PDI Perjuangan harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. Kita harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi alat ideologi, tapi alat akumulasi ekonomi. Partai menjadi sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk mewujudkan kepentingan rakyat.

Kita juga harus bekerja di dalam situasi "citra" menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya sebagaimana digambarkan oleh kekacauan luar biasa pada pemilu legislatif dan presiden yang lalu.

 
Secara keseluruhan, PDI Perjuangan harus bekerja dalam situasi politik yang semakin mahal. Pengalaman Pemilu 2009 lalu menunjukkan kuatnya pengaruh politik yang semakin mahal ini dalam menuntun perilaku politik internal partai. Kita menjadi kader-kader yang menempatkan keutamaan keuntungan diri sendiri ketimbang bagi rakyat.

Kesemua tantangan di atas, baik internal maupun eksternal perlu disikapi oleh Kongres III kali ini. Hanya dengan cara itu, partai bisa melangkah dengan lebih meyakinkan lagi. Tetapi saya perlu garis-bawahi, Kongres bukan saja perlu menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final. Tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap Partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.

(Improvisasi: terimakasih pada Pimpinan MPR yang telah mendorong pemerintah menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila; dan penegaskan 4 pilar berbangsa dan bernegara).

 
Saudara-saudara,

Saya juga perlu menegaskan bahwa kemerosotan suara kita dalam pemilu lalu adalah juga produk dari penyelenggaraan demokrasi yang manipulatif. Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 secara terang benderang telah mendemonstrasikan watak manipulatif dari proses berdemokrasi kita. Kita menyaksikan, karut-marutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah menghilangkan secara paksa dan sistematis hak politik warga negara. Bahkan lebih lagi, merupakan perampasan secara paksa atas hak konstitusional warga-negara. Kita seharusnya bersedih karena keseluruhan proses Pemilu 2009 yang memakan biaya yang sangat besar justru meninggalkan begitu banyak catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia .

 
Sebagai Presiden pada tahun 2004, saya telah mencoba dengan susah payah membangun sistem demokrasi agar Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada saat itu, tidak terpikirkan sedikitpun oleh saya untuk menciderai jalannya demokrasi. Karena saya berkeyakinan, rakyat berhak untuk mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai penentu kehidupan politik, setelah sekian lama dibungkam. Meski saat itu saya dikalahkan tetapi saya berbangga dan berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang demokrasi yang telah diletakkan akan menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan rakyat serta bagi terpeliharanya kemajemukan dan keutuhan NKRI. Ternyata keyakinan saya di atas tidak sepenuhnya benar.

Pemilu 2009 menunjukkan, politik kehilangan watak aktivisme dan voluntarismenya. Yang kita saksikan justru politik sebagai melodrama, berpola seperti sinetron yang sarat dengan belas-kasihan dan kepura-puraan. Politik juga kehilangan 'keutamaan' dan 'moralitas' karena hampir sepenuhnya dipersembahkan untuk kekuasaan.

Sebagai pilar negara demokrasi, partai berubah fungsi menjadi "penjual tiket" kekuasaan. Yang terjadi kemudian, hubungan politik antara rakyat - partai, dan rakyat - elit menjadi pola hubungan transaksional, hubungan "untung-rugi". Pola hubungan yang mendewakan "materi".

 
Pola hubungan yang mendewakan materi di atas memang tampak menguntungkan untuk jangka pendek. Tetapi ada hal yang jangan dilupakan, yakni berapa lama hal itu bisa berlangsung sementara tujuan masyarakat adil dan makmur semakin jauh dari kenyataan? Bukankah proses ini hanya akan berakhir dengan kaum papa yang akan semakin papa dan terus termarjinalkan? Itukah yang kita inginkan  dan bangsa Indonesia perjuangkan?

 
Hal-hal di atas mencemaskan karena moralitas negara demokrasi yang dibangun melalui partai, idealnya dimaksudkan agar pendidikan politik kewarganegaraan dapat diwujudkan. Partai adalah "taman sari" untuk menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa dan negara guna mengisi sirkulasi kekuasaan secara damai. Tugas etis partai di atas dalam kenyataannya di-subkontrakkan kepada segelintir konsultan politik yang menghasilkan deretan angka yang menghegemoni masyarakat. Akibatnya,  prinsip dikalahkan oleh citra dan pendidikan politik digantikan dengan indeks kepuasan publik belaka.

Inilah hal-hal yang perlu kita renungkan kembali. Apakah realitas seperti ini yang kita kehendaki bagi masa depan Indonesia kita? Realitas dimana survei dan indeks kepuasaan menjadi lembaga dan instrumen baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realitas dimana citra dikedepankan tetapi di saat yang sama, membiarkan tugas sejarah mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum serta melahirkan Indonesia yang bermartabat, menjadi sekadar pekerjaan seolah-olah.

Akhirnya secara realita hanya kaum berpunya yang bisa memiliki akses ke politik dan membiarkan rakyat kebanyakan sebagai penonton yang hanya menikmati sekadar keuntungan ribuan rupiah dalam setiap siklus pemilu. Realitas dimana rakyat kehilangan kemandiriannya dalam politik.

 
Saya sering bertanya-tanya, apa salahnya kalau rakyat mandiri? Apa salahnya kalau rakyat berdikari? Bukankah suatu bangsa yang berdikari harus ditopang oleh rakyat yang berdikari juga?

 
Saudara-saudara,

Karena melihat pada hal-hal di atas, kita bukan saja dituntut untuk bergotong-royong dan bermusyawarah dengan rakyat sebagai inti berpolitik partai kita. Tetapi juga, harus mengorganisir kekuatan rakyat untuk menjaga agar watak manipulatif di atas tidak akan pernah berulang di 2014 nanti. Rakyat perlu diorganisir agar keutamaan dan moralitas kembali menjadi prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik. Lebih lanjut rakyat perlu diorganisir agar terbangun kesadaran untuk melawan citra sebagai satu-satunya ukuran berpolitik.

 
Semua di atas harus kita tata kembali. Hal ini bukan saja untuk menjamin prinsip-prinsip Jurdil dan Luber bisa ditegakan sehingga kita boleh bertepuk dada sebagai suatu negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia. Tetapi, juga agar kita boleh meletakkan budaya politik baru: menang secara terhormat, kalah secara bermartabat.

 
Saudara-saudara yang saya cintai,

Penegasan jalan ideologis yang memihak pada rakyat kecil di atas bukan saja penting bagi masa depan PDI Perjuangan. Tetapi sangat fundamental bagi masa depan bangsa ini. Mengapa? Jawabannya sederhana: sebuah bangsa yang tidak dibangun di atas fondasi ideologi, ibarat membangun rumah di atas pasir; terkena angin sirna dia. Ia bukan saja akan terombang-ambing, akan tetapi mudah tersapu oleh jaman. Dan tanda-tanda jaman yang akan menyapu bangsa ini kini berada di hadapan mata kita: sebagai bangsa kita kehilangan kedaulatan dalam bidang politik, kita kehilangan kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kita kehilangan identitas dalam kebudayaan. Inikah Indonesia yang dibayangkan oleh Proklamator Bangsa?

 
Pengalaman sejumlah negara adidaya akhir-akhir ini menunjukkan sebuah bangsa bukan saja membutuhkan ideologi, tapi ideologi yang didedikasikan bagi mayoritas rakyat. 100 tahun lalu tidak terpikirkan bahwa jalan kapitalisme dari negara-negara di atas akan membawa mereka ke krisis yang mendalam. Bung Karno telah memprediksi sejak tahun 1930: kapitalisme mengandung kontradiksi- kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti akan memakan anaknya sendiri. Dan inilah yang sedang kita saksikan. Sebagai bangsa, sudah tentu kita tidak ingin berjalan di rel yang keliru. Kita sudah memiliki Pancasila 1 Juni 1945. Itulah jalan yang telah kita pilih sebagai keyakinan tanpa ragu.

 
Saudara-saudara,

Berbagai kehilangan di atas disebabkan karena kita tidak waspada. Kita mengira era pertarungan ideologi telah berakhir. Padahal realitas di sekitar kita mengatakan dengan jelas: inilah era puncak pertarungan ideologi dalam berbagai bentuk baru dan menjangkau setiap sendi kehidupan. Saya akan memberikan 2 contoh, yakni demokrasi dan pengelolaan pemerintahan guna menjelaskan hal ini.

 
Demokrasi Indonesia yang telah lama kita perjuangkan bukanlah suatu ruang kosong yang bekerja secara metafisis ataupun mekanis. Ia adalah medan peperangan ideologi. Demokrasi prosedural yang kini kita jalani berangkat dari kutub ideologi liberal-individual. Sebagai ideologi ia memberikan mekanisme dan jaminan berkompetisi dan melahirkan pemenang dan pecundang. Demokrasi liberal tak akan pernah menjadi bentangan karpet merah menuju keadilan sosial bagi segenap tumpah darah Indonesia . Ia bukan pula jalan bagi penguatan partisipasi rakyat. Demokrasi semacam ini bisa jauh lebih buruk lagi, ketika dia dibangun di atas politik pencitraan dan bekerja untuk melindungi citra semata-mata. Demokrasi Indonesia mestinya dibangun di atas keutamaan kolektivitas, dijalankan melalui musyawarah untuk mufakat, dan bekerja di tengah-tengah keyakinan akan kebhinnekaan sebagai anugrah Tuhan. Ia adalah demokrasi yang konon kata para ahli adalah demokrasi deliberatif.

 
Saudara-saudara,

Pengelolaan pemerintahan kita akhir-akhir ini juga menunjukkan wataknya yang semakin menjauhi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa? Kecenderungan menciptakan semakin banyak lembaga menyebabkan fragmentasi pemerintahan yang serius. Setiap hari media massa menyajikan betapa kronisnya fragmentasi yang terjadi akibat dari tidak adanya tuntunan ideologis yang jelas. Akibatnya sangat jelas: suatu kekacauan pengelolaan pemerintahan.

 
Salah satu bukti dari terjadinya kekacauan pengelolaan pemerintahan adalah kasus Bank Century. Kasus ini adalah salah satu puncak gunung es dari kekacauan tata-kelola pemerintahan. Kita sudah menyatakan sikap dengan jelas melalui Fraksi PDI Perjuangan: kebijakan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) adalah salah. Karenanya, kepada Fraksi sudah saya perintahkan untuk memilih opsi C dan terus menga wasi proses penyelesaian kasus ini dalam batas-batas kewenangannya.

 
DPR telah menunaikan kewajiban konstitusional- nya untuk menuntaskan kasus Bank Century ini. Kini giliran pemerintah dan terutama presiden untuk menindak-lanjuti dan menuntaskannya melalui saluran hukum.

Perlu saya tegaskan, rakyat sendiri harus aktif terlibat dalam mengawasi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi, perlu juga melalukan fungsi pengawasannya. Kita tidak bisa membiarkan proses yang ada hanya diawasi oleh lembaga-lembaga formal. Mengapa? Karena  pengalaman masa lalu telah mengajarkan kita, sejumlah keputusan DPR yang perlu ditindak-lanjuti pemerintah justru menguap tanpa jejak.

 
Saudara-saudara,

Saya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan tidak akan pernah sampai ke akhir tujuannya hanya dengan ideologi. Perjuangan tak akan pernah mencapai terminalnya hanya dengan retorika. Untuk bisa bekerja efektif, ideologi membutuhkan kader. Ideologi membutuhkan pemimpin. Ideologi membutuh organisasi dan manajemen yang baik.
 
Ideologi membutuhkan aturan bermain. Ideologi membutuhkan kebijakan. Ideologi membutuhkan program yang merakyat. Ideologi membutuhkan sumber-daya.

Saya sangat berharap, hal-hal strategis di atas bisa diputuskan oleh Kongres sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam partai. Karenanya, saya minta pada setiap utusan Kongres III kali ini untuk menyadari dengan sepenuh-penuhnya, sejarah sedang memberikan kesempatan bagi kita, kesempatan emas untuk bangkit. Gunakanlah kesempatan sejarah ini untuk menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya bagi partai, bangsa dan negara.

 
Untuk itu, mari kita ingat akan kata-kata Bung Karno:

"KARMA NEVAD NI ADIKARASTE MA PHALESHU KADA CHANA",

"Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungka n akibatnya!".

 
Kata-kata di atas, adalah tulisan tangan Bung Karno yang dikutip dari Percakapan Kedua, Kitab Baghawad Gita. Kata-kata di atas adalah sebagian dari nasihat Kresna pada Arjuna di medan perang Kurusetra. Nasihat yang disampaikan setelah Arjuna nampak bimbang menghadapi lawan-lawannya yang adalah para guru dan sanak-saudara sendiri.

Tuhan pasti memberikan jalan bagi kita semua.

 
Kader Partai yang saya cintai dan banggakan, saudara sebangsa dan setanah air

Mengakhiri pidato ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan yang akan segera demisioner, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kepercayaan warga PDl perjuangan terhadap saya dalam memimpin partai ini selama lima tahun.

 
Terimakasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada daerah-daerah yang telah mampu mempertahankan, bahkan menaikkan jumlah perolehan suaranya dalam Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden.

 
Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada sesepuh partai yang telah banyak membantu kerja partai melewati masa-masa yang tidak mudah.

Kepada Panitia Kongres yang telah bekerja dengan sangat keras selama berbulan-bulan dalam mempersiapkan Kongres ini, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan.

 
Kepada pemerintah Provinsi dan warga Bali , ucapan terimakasih atas bantuan dan sambutannya yang selalu meriah bagi PDI Perjuangan.

Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Kongres III ini bisa berjalan tanpa gangguan.

 
Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat yang telah meluangkan waktu untuk hadir di arena Kongres III kali ini.

Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan selama ini.

 
Saudara-saudara,

Jalan Pancasila 1 Juni 1945 yang ditopang oleh 3 pilar bernegara lainnya, yakni NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika yang kita pilih adalah jalan tunggal bagi PDI Perjuangan dalam "Berjuang untuk kesejahteraan rakyat" yang menjadi tema Kongres III kali ini.

 
Akhirnya, dengan mengucap Bismillahirrahmanir rahim, Kongres ke-III PDI Perjuangan secara resmi saya buka.

 
Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semua,

Om Santi Santi Om.

Merdeka!!!

Sekian dan terimakasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Om Santi Santi Santi Om.

MERDEKA!!!

Megawati Soekarnoputri

KETUA UMUM PDI PERJUANGAN


Mencari semua teman di Yahoo! Messenger?
Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger dengan mudah sekarang!