Sabtu, Februari 13, 2010

HMA = Harapan Mahasiswa Akuntansi

HMA Baru, Harapan Baru!
“Reformasi Lembaga Mahasiswa Jurusan Akuntansi sebagai Awal Perubahan Positif”
Oleh: Muh. Sadam*)

Himpunan Mahasiswa Akuntansi (HMA) Universitas Bakrie (UB) periode 2009-2010 telah resmi dilantik. Walaupun telah terbentuk sejak beberapa minggu sebelumnya, pelantikannya baru dilakukan dua pekan kemarin. Peristiwa ini tentu sangat dinanti-nanti oleh ratusan mahasiswa prodi (program studi) Akuntansi UB mengingat HMA menjadi wadah tempat mereka memperjuangkan aspirasi di tingkat jurusan. Selain itu HMA juga menjadi salah satu organisasi besar kampus di tingkat jurusan yang menjadi tempat mahasiswa untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan kepemimpinannya. Tak dapat ditangkis lagi terbentuknya HMA yang baru memberi banyak harapan baru bagi segenap mahasiswa Akuntansi UB.

Perubahan mindset Kemahasiswaan dan Keorganisasian

Langkah awal yang perlu dilakukan oleh HMA periode ini adalah pembenahan sistem dan perangkat ORMAWA di tingkat jurusan. Penulis pikir langkah ini bisa menjadi awal untuk melakukan pembenahan sistem ORMAWA di Universitas Bakrie yang memang masih premature. Penulis sendiri berharap langkah ini bisa terealisasi khususnya dengan kehadiran Departemen Advokasi dalam HMA. Departemen ini diharapkan bisa menjadi corong untuk menumbuhkan pola pikir kemahasiswaan dan keorganisasian yang lebih baik. Lebih jauh penulis berharap hal ini bisa diikuti oleh semua Lembaga Kemahasiswaan yang berada dalam payung Keluarga Mahasiswa Universitas Bakrie (KEMA UB).

Akan tetapi hal paling fundamental yang perlu ditanamkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah perubahan pola pikir bagi semua elemen HMA mengenai esensi mahasiswa dan organisasi mahasiswa. Perlu ditanamkan dan dipikirkan kembali oleh semua entitas HMA bahwa Kita adalah Mahasiswa, bukan anak kuliahan. Esensinya adalah, jangan sampai eksponen yang terlibat dalam HMA justru berpikiran terlalu sempit apalagi hanya memikirkan dirinya sendiri bukan memikirkan organisasi tempat ia berafiliasi juga hal-hal lain yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kesadaran bahwa mahasiswa dituntut untuk ikut memikirkan hal-hal diluar akademik dan kampus mereka, pun perlu dikokohkan jika memang kita ingin menjadi mahasiswa, bukan anak kuliahan saja. Tidak hanya sebatas aware, tetapi apa tindak lanjut nyata yang bisa dilakukan atas kesadaran itu. Intinya, ketika sudah sadar, maka bergerak!-lah, maka berbuat!-lah. Bukan peduli, tetapi hanya diam padahal kita bisa bergerak! Padahal ada yang bisa kita perbuat! Sekecil apapun itu!

Selain itu, perlu adanya penekanan pemahaman bahwa kita ke kampus bukan hanya untuk mengejar nilai akademik semata, sebaliknya tidak juga menjadi seorang organisatoris yang buta akademik. Pemahaman nilai-nilai Tridharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan yang paling penting adalah Pengabdian Masyarakat, perlu dilakukan demi menciptakan insan intelektual yang peka dan mampu berkontribusi, tidak hanya dalam lingkup internal kampus tetapi lebih kepada masyarakat luas.

Hal berikutnya adalah pola pikir mengenai Organisasi Kemahasiswaan (ORMAWA, baik UKMA, HIMA, BEM, dll). Hal ini sebenarnya sangat bergantung pada pemahaman yang sebelumnya mengenai esensi kemahasiswaan itu sendiri. Kita harus memahami bahwa ORMAWA sangat berbeda dengan organisasi kesiswaan. Perbedaan hal itu pun sangat banyak terutama dalam fundamental, basis kegiatan, dan ranah kegiatan, serta hal lainnya yang perlu dipelajari lewat pergaulan antar ORMAWA, studi komparasi antar ORMAWA dan kampus, dan pembelajaran lewat Sejarah.

Pertama, ORMAWA adalah institusi/lembaga terpisah dan independen dari manajemen kampus berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Konsekuensinya, ORMAWA hanya mempertanggungjawabkan aktivitas dan tujuan organisasinya kepada mahasiswa (KEMA), bukan pihak kampus dan hal ini mungkin mulai diupayakan di kampus UB. Independensi tidak hanya kepada manajemen kampus, tetapi juga kepada pihak-pihak lain yang mungkin saja memanfaatkan the organization power dari ORMAWA.

Kedua, Organisasi Mahasiswa membutuhkan kontribusi moral dan politis dari eksponen-eksponennya. Skala prioritas dalam pemenuhan kepentingan hendaknya diperbaiki dan direalisasikan. Tentu saja yang penulis maksud adalah pemenuhan kepentingan mulai dari kepentingan umum, kepentingan organisasi/kelompok, baru kemudian kepentingan pribadi. Penulis sendiri mengamati sebagian besar mahasiswa UB yang terlibat dalam ORMAWA justru melakukan hal yang sebaliknya dalam konteks organisasi mereka. Mereka cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan organisasi tempat mereka telah berkomitmen untuk berjuang dan bekerja keras di dalamnya.

Hal yang sangat sepele misalnya rapat organisasi. Mungkin jika bertabrakan dengan jadwal kelas atau mendadak, sebagian anggotanya tidak akan hadir. Padahal ini hanya persoalan teknis yang bisa diatasi, misalnya dengan izin, atau jika ada quiz atau presentasi maka menunggu hal itu selesai baru kemudian izin untuk rapat. Persoalan teknis semacam ini sangat sepele tetapi jarang untuk dikorbankan oleh mereka yang mengaku anggota organisasi. Penulis sangat mengharapkan agar pola pikir semacam ini bisa diubah dalam kepengurusan HMA yang baru ini.

Ketiga, pemahaman bahwa ORMAWA adalah organisasi independen yang berkonsekuensi bahwa segala aktivitas ORMAWA dijamin oleh hukum yang berlaku di negara ini. Hal ini membawa ORMAWA untuk ‘bermain’ dalam ranah hukum. Adanya pemahaman mengenai aktivitas advokasi mahasiswa pun telah menunjukkan bahwa ruang lingkup pergerakan organisasi mahasiswa diatur dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu jangan sampai aktivitas keorganisasian dalam ORMAWA memberi kesan yang statis dan tidak mempunyai dinamika yang aktif. Sebab dengan bermainnya organisasi mahasiswa dalam ruang hukum, justru menuntut pelakunya untuk lebih agresif (baca: sangat kritis) terhadap hal-hal di sekitar mereka. Hal-hal yang mungkin selama ini mungkin dianggap lazim sekalipun sebaiknya lebih diantisipasi dan dikritisi oleh eksponen dalam organisasi kemahasiswaan.

Keempat, KEBEBASAN MIMBAR BEBAS dan MIMBAR AKADEMIK adalah hal yang mutlak dan dijamin oleh hukum bagi setiap eksponen mahasiswa maupun Organisasi Mahasiswa. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dengan tegas menjamin hak konstitusional mahasiswa ataupun kelompok mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya secara lisan. Konsekuensinya adalah, segala bentuk penghambatan apalagi pelarangan aktivitas Mimbar Akademik atau Mimbar Bebas adalah sebuah pelanggaran hukum. Demokrasi yang selama ini dibela banyak pihak dan penulis yakin termasuk manajemen kampus UB, memberi jaminan moral dan jaminan hukum akan pelaksanaan mimbar akademik sebagai bagian dari aktivitas ORMAWA tanpa terkecuali. Bahkan dalam Buku Panduan Akademik Mahasiswa Universitas Bakrie pun telah dipastikan bahwa Kampus menghormati Kebebasan Mimbar Mahasiswa.

Hal terakhir ini sangat urgen sebab selama ini yang penulis lihat, aktivitas ORMAWA di kampus UB justru sangat statis karena terkurung dalam bingkai NEO NKK/BKK yang mengekang kebebasan mimbar. Pemahaman akan pentingnya hal ini diharapkan bisa membuat HMA sebagai bagian dari ORMAWA di kampus UB bisa mendiversifikasi aktivitasnya. Terlebih peranan tim advokasi yang telah dibentuk bisa lebih teroptimalisasi dengan jaminan kebebasan mimbar ini.

Tindak lanjut nyata dalam aktivitas keorganisasian

Setelah memperbaiki mindset yang ada dalam tubuh organisasi mahasiswa serta menumbuhkan ruh dan culture organisasi mahasiswa yang baik dan benar, maka langkah yang perlu diambil selanjutnya adalah tindak lanjut nyata. Jangan sampai apa yang telah disadari dan dipahami tidak direalisasikan dalam aktivitas yang sebenarnya. Sikap dan perilaku yang terlalu normatif hendaknya bisa diubah kearah yang lebih aplikatif. Kata Jendral Soedirman ‘Sedikit bicara, banyak kerja …’, jangan sebaliknya, hanya bisa berteori tapi tidak diaplikasikan.

Realisasi atas pemahaman mengenai esensi mahasiswa dan organisasi mahasiswa bisa diterapkan dalam setiap program kerja maupun aktivitas-aktivitas diluar program kerja. Ada hal lain yang lupa dibahas pada bagian sebelumnya yakni upaya pengkooptasian organisasi mahasiswa. Dari sudut pandang pendefinisian, HMA mungkin didefinisikan sebagai organisasi profesi jurusan akuntansi, akan tetapi menurut hemat penulis, hal ini jangan sampai mengkooptasi (membatasi) ruang lingkup pergerakan sebuah organisasi mahasiswa.

Organisasi mahasiswa apapun bentuknya, sejatinya dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Tetapi sasaran dan kemanfaatannya tidak hanya untuk mahasiswa. Masyarakat umum pun menanti peran dari setiap elemen organisasi mahasiswa sebagai perwujudan dharma ketiga Tridharma Perguruan Tinggi, yakni Pengabdian Masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut harus dihilangkan sikap-sikap mengkotak-kotakan aktivitas keorganisasian dari ORMAWA. Ketika misalnya HMA ingin melakukan suatu kegiatan yang memang diluar konsep akademik tetapi bisa memberi output dan manfaat tidak hanya bagi mahasiswa sendiri tetapi juga bagi masyarakat, seharusnya kegiatan ini didukung dan tidak dihambat apalagi dilarang dengan berlindung di bawah payung hukum DEFINISI yang sebenarnya ‘terpenjara’.

Hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan optimal, persoalannya hanya tinggal kemauan dan keberanian. Kemauan untuk melakukan apa yang telah kita teriakkan sebagai perubahan. Kemauan untuk bergerak dan berbuat lebih daripada sekadar meng’iya’kan atau meneriakkan. Keberanian … keberanian untuk mendobrak tradisi-tradisi ‘kolot’ yang dibangun di atas dasar ke’amatiran’ dalam berorganisasi. Keberanian untuk menentang dan melawan setiap ancaman ‘yang tidak berdasar’ yang mungkin selama ini menjadi ketakutan kita. Keberanian untuk sedikit lebih rasional dalam mengakui bahwa kita sudah mahasiswa, bukan anak sekolahan yang ‘mudah’ diatur dan diancam dengan hal-hal yang penulis berani katakan ‘lemah secara hukum’.

Itu saja. Sadar … lalu, maukah berbuat? Jika mau … beranikah kita berbuat? Jika berani, maka bersegeralah menyambut perubahan yang kita harapkan kawan. Hidup Mahasiswa!!!

Harapan baru untuk HMA yang baru

Terbentuknya HMA yang baru ini pun mulai menumbuhkan harapan-harapan baru di kalangan mahasiswa Akuntansi UB. Sebagian besar mahasiswa Akuntansi mengharapkan hadirnya perubahan dalam tubuh HMA. Dari konteks kegiatan, mahasiswa Akuntansi berharap agar HMA yang baru lebih dapat merangkul semua elemen mahasiswa akuntansi sehingga dalam aktivitas atau kegiatan yang diselenggarakan HMA tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh pengurus tetapi seharusnya lebih kepada mahasiswa Akuntansi di luar pengurus HMA. Sebab sejatinya, HMA UB adalah pelayan bagi mahasiswa Akuntansi UB.

Selain itu, dari konteks birokrasi, mahasiswa Akuntansi berharap HMA yang baru bisa mempermudah urusan birokrasi dengan manajemen kampus khususnya dengan pihak Jurusan Akuntansi yang mungkin selama ini terkesan sangat ‘kaku’ dan penuh dengan regulasi-regulasi serta ketentuan-ketentuan yang membingungkan mahasiswa.

Kontrol sosial mahasiswa pun menjadi harapan dengan terbentuknya HMA yang baru. Banyak mahasiswa Akuntansi yang berharap agar peran kontrol sosial mahasiswa terhadap kebijakan kampus khususnya jurusan Akuntansi bisa lebih termonitor oleh HMA. Jangan sampai HMA yang baru masih menjadi ‘kacung’ yang hanya menurut dan menelan mentah-mentah apa yang diberikan pihak jurusan terlebih jika hal tersebut sangat bertentangan dengan hati nurani dan memberatkan mahasiswa.

Penulis sendiri mungkin telah memaparkan harapannya secara panjang lebar pada bagian sebelumnya. Tetapi sebagai bagian penutup, penulis hanya ingin menekankan bahwa:

• Kita adalah Mahasiswa, bukan anak kuliahan
• Mahasiswa adalah insan intelektual yang menjadi arsitek perubahan
• Beasiswa jangan sampai dijadikan alat untuk menahan gerakan kita kawan!
• Selama kita benar, kita tidak akan pernah sendiri … Dia bersama kita!

Selamat Berjuang, Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater …

Hidup Mahasiswa Indonesia! Hidup Rakyat Indonesia!

*)Penulis adalah Wakil Ketua HMA UB Periode 2009-2010

http://www.msadam.co.cc/