Minggu, November 09, 2008

Sadam Ikut Lomba Menulis Cerpen_ Jakarta International Literary Festival 2008

Pelangi di Senja Jakarta
Oleh : Muh. Sadam
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Namaku Adam. Warna favoritku hitam, karena hitam itu … berwibawa. Elegan, dan dewasa. Hari ini aku genap delapan belas tahun. Tak ada lagi pesta atau perayaan seperti dulu. Karena usia tak lagi penting bagiku. Kini aku sudah bebas. Tak lagi diperbudak oleh waktu. Namun aku kalah dalam kebebasan itu. Aku sudah divonis, leukimia. Tak ada donor sumsum yang cocok untukku. Kata dokter, aku tak punya harapan lagi untuk sembuh. Tinggal menunggu waktu. Sedetik lagi, semenit, sehari atau seminggu lagi kah? Ternyata, aku masih saja diperbudak oleh waktu. Itulah takdir. Kita tak bisa berpaling darinya. Bahkan sedetik pun!
Tetapi, aku masih beruntung, karena memiliki enam malaikat yang menjelma menjadi sosok yang aku sebut sahabat. Rama, Ari, Dudul, Nino, Duta, dan Adi. Kami sudah berteman sejak SMP, SMA, hingga sekarang saat status Mahasiswa melekat di balik almamater kami. Kami hanyalah sekelompok anak muda, yang telah digariskan untuk lahir, tumbuh dan berkembang, serta belajar mengenal dunia di kota ini. Jakarta. Kota segala pesona. Budaya, life style, modernisasi, kosmopolitan, megapolitan, atau apalah istilahnya, tetap tak mampu menggambarkan keindahan dan keanggunan yang membalut keangkuhan gedung-gedungnya, yang seolah hendak mencabik kaki langit. Ibu kota benar-benar mengajari agar kami mensyukuri hidup. Bahkan hingga detik terakhir pun, kita harus mensyukurinya. Itulah hidup.
Hari ini, keenam sahabatku itu, mengajakku keliling Jakarta. Awalnya memang aku yang meminta, namun ku batalkan karena takut mengganggu kesibukan mereka. Mereka malah balik memaksaku untuk mengikuti ajakan mereka. Menikmati ruas jalan Jakarta, melihat tingginya peradaban manusia.
Aku tak kuasa menolak, terlebih lagi, aku memang belum pernah menikmati keindahan kota ini lebih dekat. Selama ini, aku terlalu sibuk dalam kesibukan lain, terlalu larut dalam kesedihan, dan teramat surut kehilangan asa karena sadar akan waktu hidupku yang tinggal sebentar. Sampai-sampai aku melupakan Jakarta. Kota paling indah, pintu masuk segala dimensi kehidupan global, yang kemudian terdistribusi ke daerah lain di bumi nusantara. Kota sejarah yang kaya akan peradaban masa lampau. Saksi bisu perjuangan bangsa. Kota yang sarat akan eksotika panorama dan budaya. Modernisasi tak mengikis, justru mempertebal ketahanan budaya khas tradisionalnya. Nasionalisme yang luhur.
Kami berangkat dengan avanza hitam milik Nino. Ia memakai kaos merah. Warna favoritnya. Ia menyetir mobilnya dengan mulus. “Sory ya No, udah bikin lo semua repot.” Aku membuka dialog. Masih belum ada jawaban. Tiba-tiba Nino tertawa. “Hahahaha … Lo biasa aja dong Dam. Kayak kita orang lain aja ah.” “Memang kalian akan jadi orang lain buatku. Asing. Paling tidak, tak lama lagi.” Batinku dalam hati. Mereka terlalu baik. Disaat seperti ini, masih saja mereka menunjukan dedikasi persahabatan mereka. Aku beruntung mengenal mereka.
Jalanan ibu kota seakan bersahabat. Kami bebas dari kemacetan yang biasanya menutup ruas jalan segitiga bisnis Jakarta, Kuningan-Sudirman-Thamrin. Terang saja, hari ini minggu. Kawasan ini cukup sepi dan bebas macet apa lagi di minggu pagi seperti ini. Padahal di hari lain, kawasan ini menjadi kawasan termacet mengingat perannya yang menjadi pusat kegiatan bisnis di Jakarta. Puluhan ribu kendaraan melewatinya setiap hari. Kawasan ini yang menjadikan Jakarta juga masuk ke dalam
Lima Puluh kota paling berpengaruh di Dunia.
Dari Kuningan, kami melesat menuju arah Kota Tua Jakarta. Situs yang menyimpan sejuta cerita Ibu Kota. Mulai dari era Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, hingga Jepang menguasai negeri ini. Kami berhenti di sebuah gedung megah, berwarna putih, atapnya jingga, dan arsitekturnya bergaya Yunani klasik bercampur Renaisans, serta diperindah dengan design islami seperti menara masjid, di bagian tengahnya. Seperti keenam sahabatku yang membisu, Museum Fatahillah, berdiri diam di hadapan kami. Seolah ingin bercerita tentang yang telah disaksikannya selama bertahun-tahun. Tentang Jakarta yang dulu terinjak dan kini bangkit melawan. Tentang Bangsa yang tertindas, dan tentang Ibu pertiwi yang meratap namun kini tersenyum. Tentang sahabat yang masih dan akan selalu membuatku tersenyum.
Ini kali pertama aku ke tempat ini. Aku mengabadikan banyak gambar diri bersama sahabat-sahabatku. Semoga ini bukan yang terakhir harapku. Meriam Portugis, Meriam Si Jagur yang sakral, Prasasti Kebon Kopi, Sunda Kelapa, Batavia, dan segala yang mengingatkanku akan masa lalu bangsa ini, tertata rapi di museum ini. Benar-benar situs yang mengagumkan. Aku menyesal baru pertama kali ke sini. Entah sudah berapa buku yang bisa aku tulis dari berbagai sumber sejarah yang ada di museum ini. Aku seolah ingin kembali ke masa lalu. Seolah ingin merasakan derita Ibu pertiwi. Ingin merasakan pilunya Jakarta yang saat itu lemah terbantai.
Rama, Ari, dan Dudul berdiri di depan dua patung ondel-ondel khas Jakarta di lantai bawah museum. Mereka bertiga berpose seperti si ondel-ondel. Sementara Adi dan Duta memperagakan transaksi jual beli di depan replika warung jualan khas betawi. Nino asik mencipratkan cahaya kamera ke arah mereka. Aku tak dapat menahan tawa melihat gaya mereka yang lepas. Aku tertawa jauh lebih lepas. Tak perduli orang di sekitar. Yang aku tahu, aku sangat bahagia.
Setengah jam kemudian, kami sudah berada di daerah Gunung Sahari, Mangga Dua. Setelah melewati Fly over, akhirnya tulisan “Terminal Trans-Jakarta Ancol” muncul di mataku. Aku sudah sering ke Ancol sebelumnya. Namun kali ini lain. Ada yang berubah. Waktu. Tak kan lagi sama. “Sepertinya akan hujan cuy.” Kataku kepada keenam sahabatku. Tak ada yang menjawab. Mungkin mereka bingung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Aku menatap langit biru lazuardi. Seakan air akan jatuh ke bumi. Tapi bukan dari langit. Dari mataku.
Seperti biasa, Ancol dipadati pengunjung pagi itu. Pengunjung dari berbagai daerah datang untuk menikmati suasana pantai yang menyejukkan hati. Memang pilihan yang tepat memilih Ancol sebagai tempat untuk memanjakan mata di Jakarta. Apa lagi setelah seminggu melakukan aktivitas yang melelahkan. Jakarta siap menyajikan Ancol sebagai pesona alam pantainya.
Kami berjalan menyisir ombak yang berkejar-kejaran di tepi pantai. Rasa dingin menusuk kakiku, menjalar hingga ke sumsum. Angin laut menerpa wajahku. Serasa dilempari sebongkah batu es. Perih dan benar-benar dingin. Tubuhku langsung menggigil. Duta yang memakai jaket orange ala Jak-Mania langsung memberikan jaketnya padaku.
Hal itu memancing yang lain untuk mengeluarkan kejahilannya, bersiul-siul nakal, bahkan mengabadikannya dalam gambar, sehingga kami nampak seolah sangat mesra layaknya dua pasang kekasih. Membuat kami semua tertawa. Bebas. Lepas. Hingga akhirnya air laut menjadi senjata. Kami saling mencipratkan air laut ke arah yang lain. Semua tertawa bahagia. Benar-benar bahagia. Tak pernah lebih baik dari hari ini.
Aku berlari mendahului mereka semua. Rasa dingin yang tadi menusuk, kini hilang dalam sekejap. Aku sudah jauh di depan. Kini sampai di sebuah delta batuan yang lumayan panjang. Sekitar sepuluh meter. Sekarang sudah sampai di ujung, seolah aku sedang berada di tengah laut, menantang samudera dan …
Hoooiiiiiiiiiiii … Hoooooooiiii!!!
Mataku terpejam. Kedua tanganku terangkat ke atas seperti orang berdoa. Keduanya sama-sama dikepal. Erat. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Tak ada yang mendengar bahkan tak peduli sekalipun ada yang mendengarku. Yang pasti aku telah mengeluarkan semua beban, sedih, marah, kecewa, bahagia, duka, lara, kesendirian dalam penantian ajal yang tak kunjung datang. Rasa rindu pada masa lalu yang telah pergi begitu saja tanpa suatu hal berarti yang kuperbuat. Kecewa pada masa kini yang terasa begitu singkat, dan rasa sedih, pedih dan perih mengingat masa depan yang tak mungkin lagi menyambutku.
Hoooooooiiiiiiiiiiiiiiiii …!
Semuanya telah keluar, lewat jeritan hati yang memilukan. Jerit yang sejadi-jadinya. Mencoba menyesali hidup. Meratapi nasib yang sudah tergaris. Hanya bisa menangis dan terus berurai air mata.
Keenam sahabatku berlari mendekatiku kemudian segera membopongku ke daratan. Aku tertegun dan duduk memeluk kedua kakiku. Rama merangkul bahuku. Yang lain, waspada mengawasiku. “Gue sayang banget sama kalian. Gue belom siap pisah sama kalian cuy! Hiks … hiks …!” Aku terisak seperti anak kecil yang mengadu kepada ibunya.
Rama semakin merangkulku erat. Lidahnya kelu. Tak sanggup berkata. Bahkan bersuara. Nino memandang langit yang mulai menghitam. Duta, yang jaketnya basah di tubuhku, diam membatu menantang laut. Ari dan Dudul yang paling riang dan berisik, kini diam seribu bahasa.
Adi menjatuhkan tubuhnya di tanah. Baju kuning favoritnya pun basah. “Kita jauh lebih sayang lo Dam! Lo mesti ingat itu Dam! Satu lagi, gue gak pernah percaya Dokter dam! Gue lebih percaya mimpi Dam! Lo bakal sembuh.”
Tak menyangka Adi akan berkata seperti itu. Si Kuning yang nyentrik ini, ternyata masih bisa memberi suatu motivasi di saat-saat terkahir. Walau apa yang dikatakannya tidak realistis, paling tidak, aku bisa sedikit bahagia mendengarnya.
“Bener Dam. Kita tuh sayang banget sama lo. Lo nggak perlu ragu akan itu.” Ari menimpali sembari memasangkan sebuah gelang hijau limau di tangan kananku. Aku tahu, itu adalah gelang pemberian kakeknya, yang ia sebut gelang kemenangan.
“Thanks ya Ri. Tapi gue mau, suatu hari nanti lo bakal make ini lagi. Ini kan benda paling berharga buat lo kan?” aku menggengam tangannya erat. Ia mengangguk tersenyum. Keceriaan kembali tersungging di wajahnya yang tirus putih. Hatinya kembali ramai. Seramai pengunjung pantai yang terus saja berdatangan.
“Guys! Gue boleh ngomong something nggak?” Aku bergeser lebih ke depan. Kini aku duduk di atas gundukan tanah dengan kaki terjulur ke permukaan air. Rasa dingin kembali menusuk kaki, namun tak lagi pedih dan perih. Ada enam penawarnya di dekatku.
“Emang lo bisa ngomong? Sejak kapan si unyil bisa ngomong?” Dudul memberi lelucon jayus. Kami hanya tersenyum. Tidak. Ari bahkan tertawa. Seperti orang gila. Dalam hatiku, bahkan aku lebih tertawa lagi.
“Gue cuman mau … lo semua jangan berubah cuy. Sedikitpun.” Sejenak ku terdiam. Menunggu jika ada reaksi. Namun diam. Tak ada jawaban. Mereka serius memperhatikan. Menatapku. Tajam.
“No!” Nino seperti terkena setrum. Ia sedikit kaget. “Gue mau … lo tetep suka merah. Itu cocok buat kulit lo yang putih. Lo mesti menjadi bapak yang bijak nanti. Anak lo jangan ada yang bernama Nina. Kan gak lucu kalo ada El Nino dan La Nina dalam satu rumah. Keluarga badai dong.”
Nino tersenyum. Lebar sekali. Lalu suaranya lepas. Ia tertawa. Terbahak-bahak. Benar-benar lepas. Tak pernah seperti itu sebelumnya.
“Gue mau. Lo semua tetep seperti warna lo masing-masing. Duta tetep orange ala Jak-Mania. Adi … tuh kuning nggak usah dicat hijau yah. Biarin hijau itu tetep milik si Ari. Dia kan pecinta hutan.” Mereka tersenyum. Aku bahagia.
“Sawah kali Dam. Masa’ hutan sih. Emangnya gue Dudul apa. Lahirnya di Hutan.” Kami semua tertawa. Bahkan si Dudul yang diejekk, malah terpingkal-pingkal. Tak menyangka si Ari masih saja bisa membuat kami tertawa bersama.
“Jangan lebay Dul! Gue mau, lo tetep suka biru. Biru dan luas seperti lautan. Biru dan tinggi seperti langit. Jangan pernah jatuh, dan mengecil. Dan lo Ram. Lo mesti tahu …” aku sengaja berhenti. Ingin melihat raut wajah Rama yang seperti penuh sejuta harap. Penuh sejuta makna.
“Lo itu bukan janda.” Semua kembali tertawa, namun perlahan terdiam lagi. “Tapi, lo mesti tetep jadi Ungu. Lo kan saingannya Pasha, Ram. Suara lo nggak kalah ma dia. Paling lo cuman kalah di tampang aja Ram.” Kami kembali tertawa. Rama tertawa paling keras.
Sekarang aku berdiri membelakangi mereka. Menantang laut. Menantang hidup. Kuhirup angin laut dalam-dalam. Segarnya sampai ke ubun-ubun. Menjalar ke relung terdalam sukma dan batinku.
“Gue mau, lo semua tetap pada warna lo masing-masing. Kita tetap akan jadi pelangi. Tapi aneh. Karena di pelangi nggak ada hitam seperti gue. Tapi tetap, gue yakin, kita semua akan selalu jadi pelangi. Pelangi yang kan menghiasi langit Jakarta. Pelangi yang memberi nuansa surga. Bagiku, semua ini teramat sangat berharga. Kalian sangat berharga.”
Mereka lalu datang merapat ke sampingku. Kami bergandengan. Bertujuh. Dalam tujuh rupa berbeda. Tujuh warna. Meski bukan pelangi, namun aku percaya … pelangi itu akan segera terbit. Tak lama lagi. Ya … tak lama lagi.
“Guys. Antar gue ke Monas dong. Gue pengen banget ke sana nih.” Aku menatap keenam sahabatku itu dalam-dalam. Mereka memenuhi keinginanku. Sejam kemudian, kami sudah berada di halaman parkir Monas. Bangunan terindah di Jakarta menurutku. Benar-benar anggun.
Kami naik lift ke puncaknya. Dan …
Tiga … dua … satu!!!
Kini aku berada di atas puncak tertinggi di Jakarta. Dari sini aku dapat menyaksikan pemandangan seluruh Jakarta, yang teramat anggun. Tak pernah cukup kata untuk menjabarkan keindahannya. Tak pernah ada batas yang kan memagari keanggunannya. Di atas puncak ini. Segalanya mungkin …
Tentang sahabat
Terlalu banyak kisah
Terlalu banyak cerita
Tak ‘kan pernah habis …
Selalu terjalin
Terpilin erat
Tak ‘kan bisa lepas
Atau … tak mau
Kau … yang tak pernah bosan
Kau … yang selalu setia
Kau … yang selalu ada
Kau … yang
Kucinta …
Tentang kau …
Tak pernah ada akhir
Selalu berawal …
Tentangmu …
Tak lekang waktu
Kisah kau dan aku
Kisah … tentang kita
Kan Selalu Ada …
Untaian puisi itu keluar dari mulutku. Menggema di puncak tertinggi. Terbawa udara sampai ke langit. Bergaung di angkasa. Lalu masuk ke sela langit yang mendung. Perlahan … seiring nafas yang melemah. Dunia jadi hitam. Tak ada lagi mentari. Apa lagi pelangi. Yang aku tahu … kini aku terbang. Bebas. Lepas. Melayang. Ke langit ketujuh. Aku bahagia. Sangat bahagia.
Kini keenam sahabatku itu berdiri meratapi gundukan tanah merah yang masih basah. Mencoba menggali arti dari untaian kata yang tertera dalam kertas putih, yang telah basah oleh air hujan … dan air mata.
Untuk Nino, Duta, Adi, Ari, Dudul,
dan Rama …
Sekarang langit sudah mengeluarkan air matanya. Kuharap, cukup ia yang menangis … jangan lagi kalian. Tersenyumlah sahabat. Tengoklah langit yang bahkan kini tersenyum lagi. Cerah memancarkan cahaya senjanya. Merah memukau.
Lihatlah pelangi yang kini hadir di senja Jakarta. Betapa indahnya pemandangan itu. Andai aku masih bersama kalian … tentu akan jauh lebih indah. Menikmati Jakarta bersama. Kota yang menjadikan kita seperti ini. Mempertemukan kita dalam satu. Berbanggalah kawan. Karena kalian masih akan bersamanya. Aku pun masih. Tetap bersamanya.
Maafkan segala lara yang ku toreh di Hatimu. Segala sesal yang kubuat. Semasa masih putih abu-abu. Semasa kita masih belum tahu arti hidup. Saat kita masih terbuai dengan palsu. Maaf untuk tak mungkin bersamamu lagi … kawan.
Terima kasih untuk segala indah. Setiap bahagia yang kau beri dalam waktu. Semua rasa yang tercurah padamu. Sejuta syukur karena pernah mengenalmu. Terima kasih untuk hari terakhir yang teramat indah. Terima kasih untuk cinta … dan persahabatanmu. Titip Jakarta padamu ya … kawan. Doakan aku … dapat melihat pelangi di sini. Seperti yang menghiasi senja Jakarta saat ini. Kawan … terima kasih untuk segalanya.
Langit kini tersenyum. Memperlihatkan senyum penuh warna. Seperti warna keenam sahabatku. Pelangi melengkung menghiasi senja, yang mulai turun ke kaki langit Jakarta. Bumi basah oleh air mata. Rumah tanahku pun dipenuhi air mata. Kebahagiaan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

woi dam...
ajjjiiiibbbb...
bagus dam...
sukses terus!!!

mang km kena leukimia sungguhan??
(bcanda ding..)
salam buat keenam warna yang lain..



*latifah*